Selasa, 30 November 2010

Meski Buta, Dia Tidak Menyerah

Sepanjang perjalanan menuju rumah Markino (43), saya tidak pernah menyangka warga yang akan ditemui adalah warga paling miskin yang ada di Desa Watuulo. Awalnya saya ceria menikmati pemandangan dan udara sejuk dalam perjalanan menuju kediaman Markino. Akan tetapi begitu tiba di rumahnya, melihat Markino yang tertidur di lantai lembab tanpa tikar, mengenakan pakaian sangat kumal, dengan tangan dan kaki masih belepotan lumpur sawah yang mengering, saya langsung nelangsa, hilang keceriaan.


Kang Kino, begitu tetangganya biasa menyapa, adalah seorang tuna netra yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani. Markino mengaku, dia tidak 100% buta, tetapi menderita rabun yang akut, sehingga penglihatannya sangat-sangat terbatas, bisa jadi tidak lebih dari 5%. Karena itu, dia lebih sering digandeng istri atau simboknya ketimbang jalan sendiri ketika pergi mendatangi sawah atau ladang milik tetangga yang akan dia bantu mengolahnya.


Keadaan Rumah Pak Kino
Saya heran dan merasa iba melihat rumah Markino begitu mungil dan terletak di seberang jalan hampir berdempetan dengan mushola Roudhotul Jannah, yang juga tidak besar. Rumah berukuran 3x5m², tanpa ventilasi dan hanya berhiaskan satu pintu depan dan belakang yang menghubungkan 1 ruangan tambahan lagi yang tidak rapat berukuran 2x2m², untuk mengamankan 5 ekor kambing piaraan yang gemuk-gemuk. Rumah mini itu juga ditambahi satu ruangan super kecil seluas 1,5x2m² di sisi kanan luar yang semakin menggantung di bibir sungai yang lumayan curam, meskipun hanya sungai kecil untuk irigasi sawah.


Rumah mini tambahan itu, ternyata untuk tempat tinggal Mbok Juminem (69), ibu kandung Kang Kino. Bilik super kecil itu, isinya memang lumayan lengkap, meskipun tidak pada tempatnya. Bayangkan, di situ ada lincak kecil yang dihiasi sedikit pakaian lusuh yang acak tidak tertata, beberapa karung kecil berisi padi tapi tidak penuh, peralatan masak, tungku, ember, sisa kayu bakar, dan pernak-pernik perlengkapan dapur yang sangat sederhana dan tidak banyak jenisnya. Karung berisi padi itu hasil Mbok Minem dari “maro”1 sawah tetangganya tapi tidak luas. Hasil maro itu jarang dikonsumsi, karena baik Mbok Minem maupun Kang Kino selalu mendapatkan jatah raskin, meskipun harus menggantinya Rp 1.700,00 per kg. Kata Pak Yono, asisten saya selama penelitian, ruang pengap itu menjadi tempat paling privat milik Mbok Minem, yang dia gunakan ketika sedang memasak, makan, tidur, juga berteduh dari angin dan hujan.


Dua rumah mini jadi satu, yang pintu depanya langsung menghantarkan penghuninya ke halaman mushola hanya dengan dua langkah kaki itu, berbagi aliran listrik dengan Mushola Roudhotul Janah. Atas inisiatifnya sendiri, Kang Kino memberikan iuran Rp 5.000,00 per bulan untuk biaya listrik, yang praktis hanya untuk menyalakan 3 bohlam penerangan ukuran watt kecil, untuk rumah utama, kandang kambing, dan bilik Simboknya.


Sudah lebih dari sebulan ini Kang Kino harus rela berpisah dengan istrinya, Tuliah (50th), yang harus merawat ayahnya karena sudah tua dan sakit-sakitan, apalagi mertuanya itu tinggal sendirian di rumahnya di Karang Talun Kecamatan Ngluwar, kira-kira 2 km dari Watuulo. Praktislah rumahnya menyisakan sedikit ruang kosong 2,5m², sehingga terasa lebih longgar dari biasanya.


Kini Kang Kino hanya tinggal bersama Mbok Minem yang juga menjadi tanggungan hidupnya. Mbok Minem, dulunya adalah seorang pekerja yang giat, namun demikian beliau tidak bisa beranjak lepas dari kemiskinan. Tidak mempunyai keahlian dan alat produksi, seperti sawah atau ladang, mungkin itulah penyebabnya. Tanah yang sekarang ditempati rumah mini anaknya, sebenarnya juga bukan miliknya, akan tetapi sisa badan jalan yang berbentuk lereng yang berbatasan langsung dengan sungai kecil yang mengairi persawahan, sekaligus tempat MCK mereka. Karena itulah, sebelum rumahnya didirikan, mereka harus menguruk lereng tersebut menjadi lebih rata.


Keseharian Markino
Sehari-hari Kang Kino menghabiskan waktu membanting tulang untuk mencari nafkah, kalau tidak bekerja di sawah atau kebun tetangganya, dia biasanya sibuk dengan ternaknya, entah mencarikan pakan atau menggembala kambingnya di tempat yang tidak jauh dari rumahnya. Namun demikian, kadang kala dia juga dimintai tolong oleh tetangganya untuk memanenkan pohon kelapa, membersihkan pekarangan, memijat, dll. Tergantung permintaan warga, selama dia bisa melakukan, pekerjaan apapapun tidak akan pernah dia tolak.


Untuk memanenkan buah kelapa, setiap pohonya biasanya dia diberi imbalan 2 buah kelapa seharga Rp 1.000,00 per bijinya. Sedangkan untuk jasa buruh di sawah atau ladang, upah yang dia terima berkisar antara Rp. 10.000,00 hingga Rp 15.000,00 per hari, bekerja mulai jam 07:00 hingga 12:00 siang. Kadang-kadang malah ada yang membayarnya lebih rendah, barang kali kualitas pekerjaannya dianggap tidak sama dengan buruh lain yang normal. Khusus untuk jasa mengurut atau pijat, Bapak yang putra tunggalnya telah tiada ini, dihonori Rp 20.000,00. Padahal, menurut pengakuannya dan juga dikuatkan oleh kesaksian Kasi Kesra Dusun Watuulo dimana Kang Kino tinggal, tidak setiap hari ada warga yang menggunakan jasanya.


Harapan Seorang Markino
Kendati demikian, Kang Kino bukan berarti orang yang tidak punya impian untuk masa depan, paling tidak dia sudah terbukti berhasil berinvestasi. Lima kambing yang ada di kandangnya, bukan bantuan dari orang lain. Awalnya dia hanya punya satu ekor cempe, hasil dari “gaduh”2 kambing milik tetangga. Kemudian anak kambing tersebut dibesarkan dan dikawinkan dengan pejantan milik tetangganya, sehingga bisa beranak berkali-kali. Dengan hasil peternakan kecil itu, Kang Kino bisa menyemen dinding dan lantai rumahnya. Selain itu, pada hari raya kurban tahun 2009 lalu, Kang Kino menjalankan ibadah korban atas nama simbok tercintanya Juminem, dengan menyerahkan kambing jantan besar senilai Rp 800.000,00.


Tidak hanya itu, Kang Kino dan Mbok Minem juga berusaha untuk selalu mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan, meskipun hanya semampunya. Contohnya, Mbok Minem tidak mau ketinggalan untuk menyediakan sejumlah nasi bungkus untuk ritual pengajian di mushola. Sekali dalam setahun, dia juga memasak jamuan khusus untuk perayaan tradisi “nyadran”.


Menyandang sebagai keluarga termiskin di Desa Watuulo, tidak membuat mereka menjauh dari kehidupan sosial kemasyarakatan dan tradisi warisan leluhurnya. Yang kerap diacungi jempol dan bisa diteladani orang lain adalah, Kang Kino dan Mbok Minem tidak pernah putus asa dan mengemis kepada orang lain. Mereka selalu bekerja keras.


Selesai mewawancarai Mbok Minem, saya mengangsurkan sejumlah uang sekedar sebagai ucapan terimakasih. Sambil bercanda, Pak Kasi Kesra yang mendampingi saya berkata, “Niku rezeki Mbok, disimpen ingkang sae. Kangge tumbas jajan nggih pareng.” Diluar dugaan kami Kang Kino menyahut, “Ditukokne pitik malah mundak.” Pak Kasi Kesra tertawa lebar, saya ikut tertawa kecil dan tak tahan menahan haru.***

1 Menyewa sawah orang lain untuk ditanami, dan hasilnya akan dibagi fifty-fifty antara yang punya sawah dengan si penyewa.

2 Gaduh adalah memelihara dan mengembangbiakan ternak orang lain, selama periode tertentu, dan akan mendapatkan imbalan berupa sebagian anak ternak hasil pengembangbiakan itu.

Rabu, 27 Oktober 2010

Menerjang Lendut Gembel*

Magelang, Selasa 26 Oktober 2010

Mendekati tempat tinggal Mas Kencuk, asisten lokal kami dalam melakukan riset, beberapa lelaki terlihat berkerumun di tepi jalan. Kondisinya sudah gelap, mereka seperti habis mengamati sesuatu. Kami sedikit bertanya-tanya ada apa gerangan, dan hanya bisa menduga-duga. Tak berhasil memastikan jawabannya.


Sebentar kemudian, mobil kami memutar, Mas Kecuk mengucap salam perpisahan. “Oke, sampai ketemu besuk Mas Kencuk. Untuk acara besuk kami dari Jogja agak siangan, mungkin jam delapan Mas,” Pak Titok memastikan janjinya, untuk kegiatan hari kedua riset kami.


Belum genap dua kilo meter kendaraan kami menyusuri jalan menurun itu, “Kletak-kletok, kletak-kletok”, hantaman benda kecil menghentak-hentak merata di seluruh body kendaraan kami, Avansa 2009.


“Mas hujan abu! Hujan abu Merapi ini Mas...!” Pak Titok menyela dengan pandangan sedikit heran, terbuang ke depan sambil terus menginjak gas dan mencermati batu-batu seukuran kedelai yang loncat terpelanting dari kaca depan kendaraan.


“Iya, hujan krikil Merapi... sebaiknya kita terus saja. Kita sedang bergerak menjauh ini. Kita terus saja Pak!” sahutku dengan sedikit kawatir sambil menurunkan volume audio, yang sedari pagi tak lelah menghibur kami.


Toyota kami terus meluncur menyusuri jalan yang semakin lurus polanya, meski semakin pelan, meninggalkan Kecamatan Sawangan, lereng Barat Daya Merapi, satu di antara dua kecamatan dimana kami berdua sedang melakukan riset tentang PNPM Mandiri Perdesaan, untuk hari pertama, di Kabupaten Magelang.


Tidak sendirian, ada beberapa mobil dan sepeda motor yang juga berebut saling mendahului di jalan yang semakin gulita itu. Hari yang semakin malam, dan kerapatan hujan kerikil vulkanik semakin memangkas jarak pandang kami.


Keheranan kami bertambah ketika tak lama kemudian, guyuran kerikil vulkanik perlahan berganti menjadi hujan abu basah atawa rintik-rintik lumpur yang jelas mengganggu wiper penyeka kaca depan mobil kami.


Laju kendaraan kami terpaksa melambat, tidak hanya karena kaca kendaraan semakin pekat berbalut lumpur vulkanik yang kian menebal, tapi juga iringan kendaraan yang ada di depan kami, bergerak semakin lengket dengan jalan beraspal karena timbunan lumpur vulkanik juga tak henti meninggi.


Sejujurnya, aku menjadi sedikit panik. Namun, masih berusaha untuk tetap tenang dan menghibur diri, “Alat rekamku tak hidupkan Pak, biar seperti fungsi ‘kotak hitam’ pesawat, merekam kepanikan kita,” aku kembali melontarkan candaan. Sementara Pak Titok tertawa ringan dan kembali berkonsentrasi memastikan laju kendaraan kami agar tetap aman terkendali.


Jalannya kendaraan yang lambat, memberikan kesempatan padaku untuk mengamati penduduk yang ada di sepanjang jalan, dari kaca samping yang relatif lebih tipis lumpurnya (barangkali karena posisinya yang lebih vertikal bila dibandingkan dengan kaca depan dan belakang). Sebagian dari mereka terlihat biasa, seperti tidak ada yang istimewa dan dirisaukan. Kami berfikir bahwa, “Barangkali mereka sudah sering mengalami hujan sebentuk itu.” Lagi pula, belakangan isu tentang segera ‘njebluknya’ merapi terdengar semakin santer di kalangan warga Magelang, Yogyakarta, dan sekitarnya, bahkan sudah menjadi wacana media massa nasional.


Sebentar kemudian, kami berdekatan dengan sebuah mobil pick-up, yang terpaksa berhenti karena wiper kacanya macet terbenam lapisan lumpur vulkanik. Sang sopir, seorang lelaki tua, terpaksa harus turun dari mobil, bermandikan hujan lumpur, menuju selokan kiri jalan untuk mengambil air, hanya dengan kedua tangannya, mengguyur dan menyeka kaca agar tembus pandang lagi.


Kami tak tahan untuk tertawa melihat kejadian itu, sekaligus bertambah resah, karena gerak wiper kaca depan semakin berat dan berderit-derit. Sedangkan cadangan air yang akan menyembur ketika tombol kendalinya dipencet, sudah tidak bisa mancur lagi. Alat penjernih kaca depan itu, menjadi tidak bekerja maksimal. Jarak pandang kami terganggu, hanya bisa melihat jalan beberapa meter saja. Rasa takut mulai menjalari sekujur tubuhku, mengingat betapa berbahayanya berkendara dengan pandangan yang amat terbatas. Belum lagi jalan yang kami lewati tidak begitu lebar, dengan dua selokan lumayan lebar mengapitnya, lekap sudah kekawatiranku, “Wah ini gimana ya?” kalimatku yang tidak ceria lagi “Sepertinya kita harus berhenti dulu Mas. Kita berteduh dulu. Nanti kita cuci kaca depan dengan air minum kita, baru jalan lagi,” Pak Titok mencoba mencari jalan keluar.


Tepat di depan sebuah kios celuler, kami sepakat untuk menepi ke kiri jalan, keluar dari mobil dan hendak berteduh di kios itu. Ketika keluar mobil, dan setengah berlari menuju kios tersebut, kami sempat terpapar guguran lumpur vulkanik, yang sepertinya semakin mereda. Saat itu, untuk pertama kali aku tahu dan mencicipi aroma abu vulkanik. Aromanya berasa gas belerang.

Rupanya sang empunya kios hendak mengungsi. Mereka sibuk membereskan dagangannya. Kios itu segera di tutup, hingga kami berteduh di luar kios. Untuk beberapa saat kami merasa aman. Kemudian datang dan berteduh juga seorang wanita muda pengendara sepeda motor Suzuki. Sepeda motornya tidak berbeda denga kondisi mobil kami yang diselimuti abu vulkanik basah alias lumpur Merapi. Jas hujan yang telah dia kenakan tak beda kondisinya, penuh dengan lumuran jenang tanah.


Dari pengedara Suzuki Shogun itu, kami mendengar berita bahwa Merapi telah ‘njebluk’ beberapa kali sejak sekitar jam 18:oo WIB. Waktu itu jarum jam tangan kami menunjuk angka 18:20 WIB.


Beberapa menit kemudian, hujan abu terlihat semakin mereda. Ada melintas iring-iringan kendaraan yang lebih besar. Sebuah ambulan yang merupakan bagian dari Tim Evakuasi Bencana Merapi, dan truk PLN yang mengangkut pembangkit listrik mobile, yang barang kali sedang menuju lokasi pengungsian. Kami putuskan untuk segera membersihkan kaca depan mobil dengan sisa air minum kemasan, dan perjalanan kami teruskan. Kami berusaha mengejar dan membuntuti iring-iringan kendaraan itu. Dengan harapan kami akan terbantu dalam mengendalikan laju mobil kami, mengingat guguran debu terus terjadi.


Akhirnya, kami berhasil semakin menjauhi kawasan Barat Daya lereng Merapi. Setelah masuk ke jalan besar Magelang-Yogyakarta, kesibukan aktivitas pengungsi juga kerap kami temui. Sebentar kemudia, kami putuskan untuk berhenti lagi di sebuah toko klontong, guna membeli air minum kemasan lagi, kali ini untuk kembali menyeka kaca depan Avansa kami.


Alkhamdulillah, perjalanan kami semakin lancar setelah semakin jauh meninggalkan daerah Muntilan, Magelang. Celuler Pak Titok beberapa kali teriak, tanda pesan pendek terus berdatangan. Hampir seluruhnya menanyakan perihal situasi Jogja saat itu. Beberapa temannya juga menelpon.


Kira-kira 15 menit kemudian kami sudah sampai di Jogja kembali. Kami sempatkan untuk berhenti sejenak, kembali membersihkan kaca depan dan lampu penerangan utama mobil kami, yang sedari tadi ternyata terlupakan. “Pantesan, jalan terasa gelap ketika mobil kita sendirian melaju di jalanan,” Pak Titok berseloroh sambil tersenyum lega. Kami telah selamat sampai Jogja. Once more, thank you very much indeed, My God.


*Lendut Gembel, plesetan dari Wedhus Gembel. Wedhus Gembel adalah sebutan paling populer untuk awan panas vulkanik Gunung Merapi yang sangat mematikan dan telah merenggut begitu banyak korban jiwa selama ini.

Kamis, 07 Oktober 2010

Global Warming dan Ancaman Kesehatan

Sudah sejak sekitar tiga puluh tahun yang lalu, beberapa ilmuwan mulai memperingatkan ancaman “paling serius” setelah perang dingin (Cold War), yakni global warming. Kini gejalanya semakin kentara dan mudah diindra dimana-mana. Perubahan cuaca dan situasi lautan, pergeseran ekosistem, serta degradasi lingkungan berakibat buruk pada kehidupan di muka bumi—menyulitkan manusia dan banyak mahkluk lain.

Para ahli terus menggelar riset untuk lebih jauh mempelajari dan mencari jalan keluar persoalan super gawat tersebut. Kesimpulannya tunggal, global warming dan climate change benar terjadi serta efek dasyatnya tinggal menunggu waktu. Bahkan sudah ada angka resmi yang membeberkan bukti otentik adanya peningkatan suhu permukaan bumi. Faktanya, paling tidak suhu bumi secara keseluruhan telah naik sebesar 0,6º Celsius (ºC) atau sepadan dengan 0,9º Fahrenheit (ºF), bila dibandingkan dengan kondisi bumi satu abad yang lalu (Suara Merdeka, 20/8/2010).

David Brown, seorang staf penulis media Washington Post yang punya perhatian khusus pada isu-isu pemanasan global, menandaskan bahwa phenomena yang terjadi akan berbeda-beda. Perubahan yang terjadi akan bergantung “di wilayah mana kita berada”. Situasinya bisa lebih panas, lebih basah, lebih kering, lebih berangin, lebih hening, lebih kotor, lebih banyak kelaparan, lebih banyak penyakit, atau lebih suram bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bahkan di daerah-daerah tertentu bisa jadi akan sangat mematikan. Dia menegaskan bahwa efek perubahan iklim sangat beragam dan acap kali bertolak belakang. Secara umum perubahannya akan mendatangkan ketidakstabilan dan kejadian-kejadian extreme. Garis-besarnya, climate change cenderung mengancam kesehatan ketimbang memberi kontribusi pada perbaikan kesehatan manusia.

Pendapat Brown (2007) menguatkan kata-kata Jonathan A. Patz, seorang dokter dan epidemiologis dari Universitas Wisconsin di Madison, bahwa “Cimate change affects everything”. Segalanya akan kena imbas perubahan iklim global. Belahan bumi tertentu akan menjadi lebih basah karena lebih sering terpapar curah hujan, sedangkan tempat lain menjadi lebih kering karena semakin jarang mendapat jatah air dari langit. Badai, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan bencana alam lain lebih sering terjadi, dan kerap kali melanda tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah mengalami bencana serupa. Nah, kondisi yang demikian akan sangat rentan mendatangkan berbagai macam gangguan kesehatan, tidak hanya serangan penyakit infeksi (infectious diseases), tapi juga gangguan jiwa akibat depressi yang bertubi-tubi.

Kenaikan suhu atmosfir bumi yang rata-rata hampir 1º F tersebut, menurut World Health Organization (WHO), hingga tahun 2000 telah menyebabkan sekitar 160.000 korban jiwa setiap tahunnya. Pada tahun 2020, WHO memperkirakan angka tersebut akan berlipat menjadi 300.000 per tahun.

Para ilmuwan juga meramalkan bahwa global warming turut meningkatkan frekwensi bencana gelombang panas (heat waves), yang pada tahun 2003 lalu telah mencelakai sebagian masyarakat Eropa. Tidak kurang, 30.000 orang meninggal karena penyakit yang ada kaitan langsung dengan gelombang panas. Di Perancis saja, hanya dalam tiga minggu (di bulan Agustus 2003), badai udara panas tersebut telah merenggut paling tidak 14.800 jiwa.

Fakta temuan WHO yang lebih mengkawatirkan lagi adalah, bahwa sepanjang tahun 1976-2008, ada paling tidak 30 penyakit-penyakit baru yang muncul akibat global warming dan climate change. Diantara penyakit tersebut, yang bisa dibilang paling menonjol dan dinilai cenderung lebih ganas adalah penyakit demam berdarah, malaria, demam kuning, kolera, diare, dan virus ebola, yang sangat mematikan dan telah menelan banyak korban jiwa (KOMPAS, 15/11/2008). Hal tersebut ada kaitannya dengan semakin bertambahnya wilayah-wiyalah yang memiliki suhu lebih hangat dan lembab (tropical), sehingga serangga dan binatang lain penyebar penyakit seperti nyamuk, lalat, siput, dan tikus bisa berkembang biak lebih cepat dengan sebaran yang lebih luas.

Hasil studi-studi yang lain, mengetengahkan kesimpulan yang serupa bahwa naiknya kehanggatan suhu bumi berbanding lurus dengan prevalensi kejadian gangguan kesehatan lain, diantaranya, serangan stroke, gangguan berbagai penyakit kulit, gangguan pencernaan, bermacam demam, radang otak, japanese encephalitis, filariasis, deman berdarah dengan gejala ginjal, flu burung, SARS, leptospirosis, dll. (Koran Tempo, 17/12/2007).

Gangguan kesehatan yang dimaksud, ternyata tidak hanya akibat dari muncul-dan-berkembangnya berbagai penyakit infeksi saja. Perubahan cuaca yang membawa pada meningkatnya kejadian bencana di wilayah tertentu, ditambah pencemaran lingkungan yang parah, terutama pencemaran logam berat, telah mendatangkan berbagai gangguan kesehatan yang sangat mematikan, seperti munculnya bermacam-macam kanker, terjadinya kerusakan organ-organ vital, alzheimer, deformasi sedari lahir pada bayi baik fisik maupun mental, dst.

Patterson Clark (Washington Post, 2004) menggambarkan bahwa degradasi lingkungan, merosotnya kualitas air, udara, dan tanah akibat dari pencemaran (polutan) telah melahirkan berbagai penyakit dan turut memperparah problem kesehatan masyarakat. Buruknya kualitas air akan berujung pada meningkatnya kejadian wabah kolera, hepatitis A, leptospirosis, cryptosporidosis, dinoflagellatered tides”, juga keracunan ikan dan kerang akibat kontaminasi bakteri vibrio dan salmonella. Polusi udara akan berdampak pada meningkatnya serangan asma, alergi dan coccidiodomycosis, serangan jantung dan paru-paru kronis. Laporan WHO menyebutkan, paling tidak terjadi tiga juta kematian di seluruh dunia setiap tahunnya akibat pencemaran udara. Angka tersebut, terbilang “tiga kali lipat” dibandingkan dengan jumlah korban tewas akibat kecelakaan pada alat transportasi.[1] Kemerosotan lingkungan juga mendatangkan penyakit lain yang ditularkan oleh serangga, seperti hantavirus pulmonary syndrom, viral encephalitis, Rift Valley fever, schistosominiasis, scabies, lyme, dll.

Yang lebih buruk lagi, karena keterbatasan resources dan buruknya kualitas pelayanan publik, masyarakat miskin di negara-negara berkembang seperti Indonesia akan menderita terpaan paling mengenaskan akibat bencana ekologis tersebut. Sedangkan kelompok yang paling tidak diuntungkan (vulnerable groups) adalah anak-anak dan balita. Seperti yang pernah disoroti dalam laporan WHO (1997), bahwa 80% dari sekitar 3 juta korban meninggal akibat malaria adalah balita dan anak-anak. Demikian juga para lanjut usia, orang yang sedang sakit, dan orang yang miskin, menjadi kelompok-kelompok lain yang sangat rentan.

Menilik contoh situasi yang ada di Indonesia, data yang dilansir oleh Yayasan Pelangi Indonesia, di Pulau Jawa dan Bali juga mengalami peningkatan hampir tiga kali lipat kasus kejadian malaria. Dari 18 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 1998, berlipat menjadi 48 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2000. Sedangkan di luar Pulau Jawa dan Bali, kasus penyakit serupa juga meningkat hingga 60% pada periode yang sama. Tercatat, kasus paling masif terjadi di NTT, yakni 16.290 kasus per 100.000 penduduk.

Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang digelar tahun 1995, menyibak fakta bahwa sekitar 15 juta penduduk Indonesia terjangkiti malaria, dan 30.000 diantaranya tidak terselamatkan (WHO, 1996). Jika upaya untuk mengatasi climate change tidak berhasil, prediksi para ahli mengatakan bahwa Indonesia akan terus didera peningkatan kasus penyakit malaria dan demam berdarah. Untuk demam berdarah diperkirakan akan meningkat hingga empat kali lipat pada periode yang sama, dari 6 kasus per 100.000 penduduk menjadi 26 kasus.[2]

Kemudian penanganan yang bagaimanakah sebaiknya? Karena skalanya global, cara yang paling tepat untuk mengatasi persoalan tersebut adalah melalui kerjasama internasional. Tentu saja, dibawah bendera PBB dan organisasi kemanusiaan transnasional lainnya, gerakan dan upaya untuk mengatasi persoalan tersebut akan lebih efektif dijalankan.

Mengingat sedikit banyak telah bisa dipetakan efek destruktifnya, perencanaan yang matang dan kesiap-siagaan atau tanggap darurat (preparedness) pada level masing-masing negara, dalam hal ini mencakup persoalan kelembagaan, logistik termasuk shelters, dan juga obat-obatan menjadi penting untuk dipersiapkan sejak dini. Sehingga upaya untuk mengurangi resiko dan meringankan dampaknya menjadi bisa bekerja dengan baik. Terutama, negara harus bisa memastikan penghematan resources yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang kian terbatas, seperti air bersih dan lahan pertanian produktif.

Namun demikian, mencermati apa yang pernah dikatakan oleh Kristie L. Ebi,[3] seorang epidemiologis dari Amerika, bahwa “The impacts of climate change really depend on your local context,”dengan demikian negara harus segera mempersiapkan stakeholders yang ada di daerah dan level komunitas, membekalinya dengan desain dan cara pengembangan metode beradaptasi terhadap perubahan yang bakal terjadi. Selain itu, pengawasan terhadap perkembangan penyakit-penyakit infeksi mutlak dilakukan, sehingga bisa dengan mudah merencanakan dan mempersiapkan langkah-langkah antisipasi. Harapanya, tingkat kerentanan (vulnerability) bisa dikurangi sekaligus ketahan (resilience) mereka bisa terdongkrak.

Selain itu, kalau dirunut lebih jauh, persoalan kesehatan merupakan problem “hilir” dari global warming dan climate change, sedangkan kerumitan di “hulu” telah mendera lebih dulu pada bidang-bidang lainnya. Dengan begitu, peran kesadaran publik yang bisa membawa pada perubahan perilaku individual untuk melakukan upaya-upaya pencegahan menjadi sangat esensial. Untuk itu tips populer yang sering beredar dalam wacana para pecinta lingkungan dan penganut green-life-style, yakni Tiga MMulai dari diri sendiri, Mulai dari hal-hal kecil, dan Mulai dari sekarang—menjadi sangat relevan, visoner, dan menjanjikan perubahan nyata bila telah menjadi komitmen hidup lebih banyak orang. Semuanya selalu bergantung pada kita semua, pada akhirnya. Bukankah masing-masing dari kita punya andil pada terjadinya global warming?



[1] USDA, Production, Supply and Distribution, electronic database , at www.fasusda.gov/psdonline, updated 12 July 2007.

[2] PORTAL CBN, Cyberhealth, SENIOR, Gaya Hidup Sehat, http://cybermed.cbn.net.id.

[3] Kristie L. Ebi is Executive Director of the Technical Support Unit for Working Group II (Impacts, Adaptation, and Vulnerability) of the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Prior to this position, she was an independent consultant. She has been conducting research on the impacts of and adaptation to climate change for more than a dozen years, including on extreme events, thermal stress, foodborne safety and security, and vectorborne diseases. She has worked with the World Health Organization, the United Nations Development Programme, USAID, and others on implementing adaptation measures in low-income countries. She facilitated adaptation assessments for the health sector for the states of Maryland and Alaska. She was a lead author on the “Human Health” chapter of the IPCC Fourth Assessment Report, and the “Human Health” chapter for the U.S. Synthesis and Assessment Product “Analyses of the Effects of Global Change on Human Health and Welfare and Human Systems.” She has edited fours books on aspects of climate change and has more than 80 publications. Dr. Ebi’s scientific training includes an M.S. in toxicology and a Ph.D. and a Masters of Public Health in epidemiology, and two years of postgraduate research at the London School of Hygiene and Tropical Medicine.

Selasa, 15 Juni 2010

Gendu-gendu Rasa Wong Desa ala Kebumen

Irama alat musik ‘Janeng’1 mengalun merdu, bertalu menggema memecah keheningan balai pertemuan Desa Kembaran, Kec.Kebumen, Kab. Kebumen. Musik tradisional yang mulai menghilang ini menjadi pertanda akan dimulainya diskusi dengan tajuk, “Gendu-gendu Rasa Wong Desa tentang ADD, Kemiskinan, dan Bedah Flamma”2. Peserta mulai berdatangan dan mengambil tempat duduk, demikian juga rombongan kami dari IRE Yogyakarta yang datang setengah jam lebih awal dibandingkan peserta lain.

Gendu-gendu (membincangkan-red) Rasa, merupakan sesi diskusi komunitas yang diinisiasi oleh Karang Taruna Satma Kusuma Jaya yang didukung Pemerintah Desa (Pemdes) Kembaran. Dalam sambutannya, Dwi Agus Kurniawan, sang nahkoda Satma Kusuma Jaya, menyampaikan bahwa forum terbuka tersebut dimaksudkan untuk turut mendorong karang taruna agar lebih tahu dan peduli perihal ADD, menghimpun informasi pembangunan antar desa, serta menggali lessons-learned tetang pelaksanaan ADD sejauh ini. Sunaji Zamroni, peneliti dari IRE Yogyakarta, hadir sebagai pembicara untuk memaparkan perihal sejarah lahirnya ADD dan pengalaman IRE dalam mengawal pelaksanaanya ADD di berbagai daerah yang menjadi lokasi penelitian IRE.


Kegiatan yang digelar Sabtu, 12 Juni 2010 tersebut tidak hanya dihadiri warga Desa Kembaran, tetapi juga perwakilah dari desa sekitarnya, beberapa LSM lokal, dan OMS yang ada di Kebumen, serta pihak Pemerintah Daerah yang diwakili oleh Kepala Bidang (Kabid) dan Wakil Kepala Bidang (Wakabid) Bapermades (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa) Kab. Kebumen.


Pak Ghofar Ismail N, Lurah Desa Kembaran, menjelaskan bahwa acara tersebut dalam rangka mencari ilmu, mengembangkan wawasan, untuk diamalkan secara bersama-sama demi kebaikan bersama. Beliau juga memuji kemajuan cara berpikir karang-tarunanya, yang punya inisiatif, berfikir terbuka, dan peduli pada pembangunan, dalam visi bersama membangun masyarakat, baik aspek moral, material, dan spiritual. Selain itu, beliau juga menegaskan bahwa pemuda memang harus bangkit, bergerak, karena kemajuan berada di tangan pemuda, dan merekalah yang kelak akan menjadi pemimpin berikutnya.


“Kami senang dengan forum seperti ini, kami bisa mendapatkan apa-apa yang harus kami lakukan,” kata Ibu Herlina (Wakabid Bapermades) mengawali sambutannya. Selanjutnya, beliau menunjukkan beberapa dasar hukum dan mekanisme pelaksanaan ADD, diantaranya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 72/2005 tentang Desa, Permendagri No 37/2007 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Perda Kebumen No. 2/2007 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Perbup No. 31/2008 tentang ADD. Kilasan sejarah, tujuan, manfaat, dan mekanisme pelaksanaan ADD di Kab. Kebumen juga tidak lepas dari paparannya.


Sejarah pergulatan memperjuangkan lahirnya ADD di tingkat nasional, peran IRE dalam upaya tersebut, serta sekilas tentang penelitian dan pendampingan IRE terkait isu-isu ADD merupaka topik-topik persoalan yang disampaikan oleh Sunaji Zamroni. “ADD telah membuka cara pandang baru, tentang kedudukan desa di mata Kabupaten,” tukas Sunaji memaknai munculnya kebijakan ADD. “Dan Kabupaten bukanlah Sinterklas, ADD adalah hak desa dan salah satu tindak lanjut kebijakan desentralisasi,” tambah Sunaji. Temuan-temuan unik seputar pelaksanaan ADD dari riset IRE di berbagai daerah dan masukan-masukan penting untuk perbaikan tak luput dari elaborasi yang disampaikan Sunaji Zamroni. Ia juga sesekali mengajak peserta untuk membuka-buka majalah Flamma yang telah ada di tangan mereka.

Merespon pertanyaan peserta tetang adanya perangkat desa di Kebumen yang sedang menghadapi kasus hukum karena dugaan penyimpangan ADD, baik Sunaji maupun Herlina menegaskan bahwa, asalkan mengikuti aturan hukum dan prosedur yang ada, masyarakat tidak perlu khawatir dalam mengelola ADD. “Sejauh aturannya dipenuhi, saya kira tidak ada masalah,” ujar Sunaji.


Diskusi yang dipandu oleh Borni Kurniawan diakhiri dengan harapan bersama bahwa partisipasi semua pihak, transparansi, dan akuntabilitas pelaksanaan ADD akan turut memastikan adanya pembangunan yang sesuai harapan bersama.


1. Janeng dan Ebleg merupakan dua kesenian daerah yang tergolong tradisional. Dua kesenian itu sejak sekian lama telah menjadi jantung kesenian tradisional di kabupaten Kebumen. Dahulu, sekitar 1980-an, sebelum dangdut, musik pop, campursari, dan kesenian modern lain populer, musik Janeng sering dimainkan di mana-mana: di balai desa, kecamatan, pendopo kabupaten, dan di tempat orang punya hajat. (www.suaramerdeka.com).


2. Majalan Flamma yang turut dibedah dalam diskusi tersebut adalah Majalah Flamma Edisi 33, Januari-Maret 2010, dengan tajuk “Menuntaskan Target lama, Sengkarut Penanggulangan Kemiskinan”

Note: Tulisan ini juga dipublikasikan dalam http://www.ireyogya.org/id/



Selasa, 08 Juni 2010

Potensi Sultan’s Birds untuk Dusun Ketingan

Keunikan atau sering dibahasakan dengan kata yang lebih indah, eksotisme, merupakan potensi alamiah Dusun Ketingan, yang telah diamini banyak pihak. Adalah sebuah dusun wisata alternatif yang menawarkan obyek konservasi fauna jenis burung kuntul atau blekok, serta paket wisata lain yang ada kaitannya denga pesona kehidupan pedesaan yang masih asri dan alami.

Menjejakkan langkah ke wilayah tersebut kita akan langsung disambut dengan jalan desa beraspal, meskipun sudah mulai berlubang di sana-sini, dan gapura kembar (pertama) warna krem bertepi coklat yang menjulang kokoh. Gapura kiri, dihinggapi sebuah patung burung kuntul besar warna putih, sedangkan gapura kanan ditenggeri tiga patung burung serupa, seekor kuntul besar dan dua blekok kecil yang semuanya berwarna putih. Keempat putung tersebut seperti dirancang khusus berpose kas layaknya burung sawah liar kebanyakan, yang menggambarkan keceriaan, kedamaian, dan kebebasan kehidupan liar, yang dijamin kelestariannya oleh masyarakat setempat.

Tepat di depan sebelah kanan gapura megah tersebut, terpampang dua plang kokoh. Plang yang lebih tinggi, berpenyangga pipa besar tunggal, dan berwarna dasar hitam flat bertuliskan huruf besar warna putih, “Selamat Datang di Desa Wisata Fauna Ketingan, Desa Tirtoadi, Kecamatan Mlati.” Sedangkan, yang lebih pendek, berkaki dua, bercat dasar warna putih dengan tulisan warna hitam tegas berbunyi, “Dilarang Berburu, Sesuai: UU No. 5 Tahun 1990 dan Instruksi Gubernur Nomor: 10/INSTR/1998, BKSDA Yogyakarta, DIPA Tahun 2009.” Plang-plang tersebut tentu saja sudah bisa mewakili betapa seriusnya komitmen masyarakat setempat untuk membawa desanya tumbuh menjadi desa wisata alternatif yang menjanjikan keunikan khas pedesaan yang ramah terhadap ekosistem.

Gapura kedua yang jauh lebih megah adalah penanda selanjutnya yang menjadi gerbang utama masuk ke Dusun Ketingan. Gapura dengan dominasi warna krem dan list coklat tua, yang bagian atasnya saling terhubung menyatu dengan naungan atap genting yang kokoh, selain menyuguhkan tulisan “Selamat Datang” juga menampilkan slogan lain berbunyi, “Estining Gapuro Trus Manunggal, Dusun X Ketingan”, yang ditengahnya terdapat pahatan tanda tangan Sri Sultan HB X, raja ke-10 Kasultanan Yogyakarta. Sebuah papan bergambar peta daerah wisata Dusun Ketingan, yang menampilkan layout obyek-obyek wisata berupa rumah joglo khas arsitektur Jawa, gardu pandang, persawahan, peternakan, kolam pakan burung kuntul, dst. berdiri tegar di sisi kanan depan gapura. Di seberang kiri, berdiri juga plang peringatan larangan berburu yang serupa dengan yang ada di depan gerbang pertama.

Melewati kedua gerbang penanda tersebut kita langsung disambut dengan pohon-pohon tinggi merindang, hijau menyegarkan mata. Diantaranya, rumpun-rumpun pohon bambu, kelapa hijau, johar, adem-adem ati, mlinjo, nangka, flamboyan, juga pohon mangga. Nah, menjadi daya tarik utama adalah, di pucuk-pucuk sebagian besar pohon-pohon tersebut bertengger, dan sesekali meloncat-loncat, kemudian terbang berpindah ke pohon lain, burung-burung besar warna putih bersih yang tampak sehat. Di ruas-ruas percabangan ranting pohon, banyak dihiyasi onggokan-onggokan ranting kecil dan daun kering yang menjadi sarang peraduan keluarga ribuah burung musiman kuntul. Suara teriakan piyikan (anak-anak burung) yang meminta suapan makanan dari induknya berpadu dengan derat-derit suara daun dan ranting pohon, yang ditiup desir angin turut melengkapi keunikan dan keindahan Dusun Ketingan.

***

Menurut penuturan beberapa warga setempat, koloni burung kuntul dan blekok mulai datang dan singgah di Dusun Ketingan sejak tahun 1997. Awalnya hanya beberapa ekor saja. Singgah di rumpun-rumpun bambu di pinggiran dusun. Namun, seiring berjalannya waktu koloni mereka semakin banyak, ratusan ekor, dan kemudian menjadi ribuan. Entah ada kaitannya atau kebetulan belaka, menurut Pak Haryono, yang hingga saat ini menjadi Ketua Pengelola Desa Wisata Ketingan, fauna migran tersebut mulai datang ke dusunnya setelah kunjungan Sri Sultan HB X berserta istrinya, dalam rangka meresmikan jalan dan gapura dusun, hasil swadaya masyarakat. Konon, tidak lama setelah kunjungan Raja Kasultanan Yogyakarta tersebut koloni burung kuntul dan blekok mulai rutin datang dan berkembangbiak. Awalnya hanya puluhan ekor saja, tetapi lama kelamaan semakin banyak. Itulah kenapa, muncul anggapan di benak sebagian warga bahwa kedatangan koloni unggas tersebut tak lepas dari ‘tuah’ yang dibawa serta oleh kunjungan Raja Jawa. Hingga muncul sebutan ‘burung sultan’ atau ‘Sultan’s birds’.

Pada awalnya warga Ketingan sempat kawatir bahwa kehadiran ribuan satwa dilindungi terebut akan membawa dampak buruk bagi kehidupan mereka. Mengingat, ribuan satwa tersebut berdatangan dalam jumlah yang luar biasa besar, bertengger, dan bersarang tidak hanya di rumpun-rumpun bambu di tepiah sawah, akan tetapi juga mendiami vegetasi produktif lain yang selam ini turut membantu meningkatkan pendapatan masyarakat diluar pertanian sawah. Yakni, pohon kelapa hijau dan tanaman melinjo. Belum lagi dengan kotoran dan bulu-bulu mereka, yang mengotori dan menimbulkan bercak-bercak putih di dedaunan pohon dan tanah dibawahnya. Selain berbau anyir, masyarakat sempat mengkawatirkan munculnya wabah penyakit yang bisa ditularkan oleh fauna jenis unggas tersebut. Namun, keresahan warga akhirnya mereda, setelah hasil penelitian yang diorganizir oleh Tim dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada mampu membuktikan bahwa kotoran burung kuntul di Ketingan tidak berbahaya. Kekawatiran masyarakat terhadap kemungkinan penularan virus flu burung dibantah oleh tim ahli tersebut, “Menurut beliau-beliau, burung kuntul yang singgah di sini, adalah jenis pemakan binatang kecil dan serangga. Sedangkan unggas yang potensial menularkan virus adalah mereka yang pemakan biji-bijian,” terang Haryono, Ketua Pengelola Desa Wisata Ketingan.

Mengukuhkan kabar gembira yang dipaparkan tim ahli dari UGM, hasil penelitian pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) juga mengungkapkan fakta yang tidak jauh beda, bahwa koloni unggas musiman tersebut dipandang aman, sejauh ini tidak membawa wabah penyakit tertentu. “Aman kok, selama ini belum pernah ada warga yang sakit karena burung-burung kuntul itu,” ungkap Triyanto (28), seorang anggota karang taruna setempat. Fakta lainya adalah, kotorannya, yang berwana putih dan berbau agak amis, sangat baik untuk tanah, karena mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman.

Fakta-fakta positif yang dilandasi kajian ilmiah tersebut, semakin mendorong dan menguatkan komitmen warga Dusun Ketingan untuk mengembangkan potensi alamnya. Harapanya, mereka akan mendapatkan keuntungan ekonomis dan ekologis yang pada akhirnya bisa mendongkrak kesejahteraan mereka. Selain itu, mereka tidak ragu-ragu lagi untuk semakin hidup dekat, berdampingan, dan turut menjaga keberadaannya. Mereka tidak enggan lagi untuk memberi makan kuntul, juga menyelamatkan piyikan yang belum bisa terbang yang kebetulan terjatuh ke tanah. Mereka berusaha mengembalikannya ke sarang asalnya. Para pemburu burung pun dijamin tidak akan bisa melampiaskan hobby buruknya di kawasan konservasi Ketingan. Warga telah memajang papan-papan peringatan larangan berburu di beberapa tempat strategis, dan tak segan-segan untuk mengusir mereka yang nekat melampiaskan syahwat destruktifnya mengusik kedamaian ekosistem di wilayahnya. Kesungguhan, interaksi yang harmonis, dan kepedulian mereka terhadap kelestarian lingkungan alam, terutama fauna kuntul dan blekok, menjadikan dusunnya menjadi salah satu daerah konservasi di Yogyakarta. Capaian itu tentunya sangat membanggakan banyak pihak. Belum lagi penghargaan yang telah diberikan kepada salah satu panutan mereka, Haryono, yang pada Agustus 2008, diundang ke Istana Negara untuk dianugerahi sebuah kehormatan, sebagai Kader Konservasi Alam, oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono.

***

Dusun yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Jalan Magelang tersebut telah resmi menyandang status sebagai Desa Wisata sejak 2002. Didukung oleh Pemerintah Kabupaten Sleman, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dan Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM, Ketingan terus berupaya mengembangkan diri dan menguatkan status barunya. Tentu saja, status itu membawa konsekwensi sekaligus dampak positif terhadap kemajuan ekonomi dusun, kendati warganya dituntut untuk melakukan lebih banyak lagi upaya guna mengembangkan potensi, dan kemudian menjualnya menjadi paket eko-wisata yang dalam beberapa tahun terakhir semakin mendapatkan perhatian publik, ditengah hiruk-pikuk issue global menyangkut perbaikan dan kelestarian lingkungan.

Ada beberapa paket eko-wisata yang dikembangkan dan ditawarkan Dusun Ketingan. Menu utamanya adalah kesempatan bersantai menghirup udara pedesaan yang segar sambil melakukan pengamatan tingkah-laku kawanan burung kuntul yang pada kesempatan tertentu jumlahnya bisa ribuan. Terutama ketika musim hujan tiba, kawanan burung mulai berdatangan dalam jumlah besar, mulai membangun sarang, dan membesarkan anak-anaknya. Paket utama ini dikombinasikan dengan kesempatan bagi para wisatawan yang ingin merasakan sensasi terlibat langsung pada kegiatan pertanian yang biasanya juga aktif dan padat di musim penghujan. Pengunjung bisa ikutan membajak sawah bersama petani, bermain lumpur di lahan pertanian sambil mengamati burun-burung kuntul yang ikut turun ke lahan pertanian untuk berburu makanan.

Daya tarik lain yang juga bisa dinikmati wisatawan adalah pertunjukan seni tradisional. Pengunjung bisa mengikuti kegiatan seni seperti jathilan, pek bung, gejog lesung, dan wayang kulit. Khusus untuk pertunjukan wayang kulit, biasanya dilakukan setahun sekali, bersamaan dengan perayaan ritual ‘merti bumi’, yang untuk Dusun Ketingan biasanya jatuh pada bulan Juni.

Untuk kepentingan mengankat potensi yang bisa disuguhkan kepada masyarakat luar, terutama para wisatawan, Dusun Ketingan secara rutin menyelenggarakan ritual Merti Bumi, dengan prosessi kegiatan yang lebih spektakuler disbanding jaman sebelumnya. Masyarakat digerakkan, mereka mengenakan pakaian khusus dan melakukan kirap mengelilingi dusun. Sedikit berkiblat kepada prosesi Grebekan Maulid ala Kraton Jogja, Merti Bumi di Ketingan juga mengarak berbagai hasil bumi yang diusung dalam bentuk tumpeng besar atau disebut ‘gunungan’. Nah, di malam harinya ditutup dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Tujuannya, “Itu sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat atas berkah dari Alloh, Mas,” kata Supar, kepala dusun Ketingan.

Paket pelengkap lain, yang juga sendang diinisiasi warga adalah, kesempatan bagi wisatawan belajar membuat, meracik, dan mencicipi makanan dan minumas khas daerah setempat. Termasuk, belajar meramu jamu tradisional dan membuat keripik atau emping mlinjo, yang kebetulan banyak dihasilkan dari lading mereka.

Guna mendukung semua upaya diatas, Pengelola Desa Wisata Ketingan juga menyiapkan beberapa orang pemandu local yang dibekali bahasa Enggris, juga membangun menara pandang bagi mereka yang ingin melakukan pengamatan dari ketinggian. Selain itu, warga juga diajak untuk merelakan dan menyiapkan sebagian bilik rumah mereka untuk difungsikan sebagai tempat penginapan (homestays) bagi wisatawan yang ingin bermalam, yang ingin menikmati suasana malam hari ala pedesaan, yang penuh keramahan, kehangatan pergaulan ala pedusunan, sambil menikmati suara jangkrik dan nyanyian katak di kesunyian malam, serta kelap-kelip kunang-kunang yang berterbangan di kegelapan rumpun-rumpun bambu, yang tentu saja tidak akan ditemukan di perkotaan.

Sejauh ini, tersedia sekitar 40 rumah dengan kapasitas sekitar 225 orang, dengan tarip Rp 75.000,00 per orang per hari. Makanan dan minuman yang khas Dusun Ketingan juga menjadi fasilitas yang akan diberikan kepada setiap tamu yang meginap. Menurut ketua pengelolanya, Haryono, “Kalau pengunjung memerlukan kendaraan antar jemput, kami juga bisa menyediakan.” Dengan demikian, lanjut beliau, diharapkan para pengunjung bisa mendapatkan kepuasan baik dari aspek obyek wisata yang ditawarkan maupun pelayanan akomodasi yang diberikan oleh pihak pengelola.

Tercatat, tak kurang dari 1.000 wisatawan bertandang ke Dusun Ketingan setiap tahunnya. Meskipun rata-rata dari mereka adalah para pelajar, mulai dari Taman Kanak-kanak dan Play Grup, hingga mahasiswa yang ingin berwisata sambil belajar tentang fauna langka, turis dan ahli manca negara pun juga banyak yang berkunjung melihat lebih dekat tentang keistimewaan Dusun Ketingan. “Banyak kok, ada dari Jerman, Australia, Jepang, dan negera lain,” tukas Haryono lebih lanjut.

Wisatawan yang berkunjung ke Dusun Ketingan biasanya memberikan berita dulu jauh sebelum hari kedatangannya. Mereka cenderung rombongan dengan dua atau tiga bus wisata. Ini menegaskan bahwa kedatangan mereka tak lepas dari peranan biro jasa perjalanan wisata, kerjasama dengan instansi terkait, dan promosi yang semakin gencar mereka lakukan. Wajar adanya bila diantara wisatawan domestic, tercatat berasal dari kota yang jauh seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Kebumen, Purbalingga, dll.

***

Status sebagai sebuah desa wisata yang disandang Dusun Ketingan telah membawa berkah yang turut memberikan insentif ekonomi bagi seluruh warga. Hampir semua ruas jalan dusun sudah dikeraskan baik dengan cor-blok beton maupun aspal (hot-mixed). Rumah warga juga banyak yang bagus, bersih, berlantai mengkilat, dan kelihatan mapan secara ekonomi. Warga pun juga terdorong untuk melakukan inovasi yang memungkinkan dusunya bergerak lebih cepat dibandingkan fase sebelum penetapan sebagai tujuan eko-wisata. Apalagi, arus utama tren perubahan bidang pariwisata cenderung bergeser ke sisi yang lebih ‘green’, lebih mengedepankan aspek kelestarian lingkungan. Tentu saja, ini bukan kabar ‘burung’ yang tak perlu dihiraukan, tapi kecenderungan gerak arus global yang semakin berpihak pada alam, dan memberikan peluang besar bagi kemajuan eko-wisata di Dusun Ketingan.

Selasa, 25 Mei 2010

Pertanian Organik, Potensi dan Kendalanya

Pola pertanian organik semakin mendominasi wacana bidang pertanian dewasa ini. Praktek pertanian yang pada dasarnya tidak jauh beda dengan model pertanian tradisional warisan nenek moyang kita, namun sudah puluhan tahun banyak ditinggalkan petani karena kehadiran revolusi hijau, kini semakin populer, diakui potensinya, dan dianjurkan oleh banyak kalangan. Pengakuan dan anjuran tersebut didasari dengan beberapa pertimbangan, mulai dari aspek nilai tambah secara ekonomi, aspek kualitas bahan konsumsi untuk kesehatan jangka panjang tubuh manusia, aspek penyelamatan dan kelestarian lingkungan (environmentally friendly and farming sustainability), hingga aspek ideologis yang oleh banyak kalangan ingin diperjuangkan.

Keunggulan nilai tambah ekonomi tersebut, atau harga premiun yang menjanjikan petani, tentu saja bisa dikembangkan menjadi alternatif jalan untuk mendongkrak penghidupan petani kecil. Harapanya, peluang tersebut bisa menjadi cara tambahan untuk membantu mengetaskan petani kecil dari belenggu kemiskinan. Namun demikian, untuk mengajak atau mendorong mereka beralih ke pertanian cara organik, tidaklah semudah yang kita bayangkan. Ada beberapa kendala atau tantangan serius yang bisa kita ketengahkan dalam tulisan ini.

Pertama, adanya mitos bahwa pertanian organik sulit dilakukan, rumit juga syarat tehnologi baru, dan memerlukan banyak resources dalam pelaksanaannya. Seperti penuturan Sutarman, Kaur Perencanaan Desa Giritirto, Kec. Purwosari, Kab. Gunungkidul, yang pernah mencoba mengaplikasikan sistem pertanian organik lahan basah di persawahannya.

Kedua, diperlukannya masa transisi yang relatif lama (sekitar 2-3 tahun) yang harus dilewati para petani ketika mulai beralih ke aplikasi pola pertanian organik. Pada fase transisi ini petani biasanya akan mengalami kerugian (D. Geovannucci, 2007). Hasil pertaniannya cenderung menurun drastis dibandingkan dengan pola pertanian konvensional. Seperti juga pengakuan Pak Muryanto, kepala Dukuh Glagah, Desa Nglegi, Kec. Patuk Kab. Gunungkidul, yang sejauh ini telah menekuni pertanian organik, bahwa pada awalnya dia menderita kerugian, karena hasil panen sawahnya langsung ‘njeglek’ (merosot tajam-red) bila dibandingkan panen sebelumnya ketika masih menggunakan sistem konvensional. Beliau menjelaskan bahwa pada masa transisi tersebut, kesuburan tanah masih belum pulih, sebagai dampak dari penggunaan pupuk kimiawi yang telah berlangsung puluhan tahun.

Ketiga, adanya kendala pemasaran produk organik, karena produk organik masih berharga mahal (premium), sehingga memiliki segmen pasar khusus, dan jaringannya masih dikuasai oleh pelaku bisnis bermodal besar, sehingga para petani kecil merasa kesulitan untuk mendapatkan akses pasar yang luas. Ini tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan Pak Putut, seorang petani pemula yang sendang merintis pertanian organik untuk sayur-sayuran dan buah-buahan berusia pendek seperti lombok, tomat, timun, melon, dan semangka, yang mengelola lahan persawahan di leren Timur Gunung Lawu, Jawa Timur.

Belum lagi, produk-produk pertanian organik seringkali penampilan fisiknya juga tidak sebagus produk-produk non-organik. Tidak digunakannya pupuk dan pestisida kimiawi seringkali membuat tampilan tanaman organik terkesan kurang sehat atau tidak se-subur yang non-organik, dan juga rentan terhadap serangan hama, sehingga terkadang ‘wajahnya’ bopeng dan ada cacatnya. Nah, penampilan yang kalah ‘kinclong’ seperti itu juga sering menjadi kendala pemasaran produk pertanian organik.

Keempat, belum adanya dukungan yang lebih nyata dan meluas dari pemerintah. Terutama dalam bentuk kampanye yang massive dan terus-menerus perihal pertanian organik, mulai dari pentingnya beralih ke makanan organik bagi masyarakat hingga bagaimana cara mengelola pertanian dan industri produk pertanian organik. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan akses informasi tentang potensi dan peta pasar, fasilitasi untuk promosi dan pameran, serta fasilitasi lahirnya kelembagaan pelaku pertanian organik, dan pelatihan-pelatian yang intensif bagi masyarakat bawah (petani kecil).

Perihal kelembagaan, petani kita sebenarnya telah paham dan memiliki cukup banyak variasi organisasi yang berbasis pertanian yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun demikian, kapasitas mereka tetap perlu didongkrak dan dibangun kembali, dilengkapi dengan pengetahuan atau tehnologi baru, melalui bermacan training yang biayanya sepenuhnya ditanggung oleh anggaran pemerintah. Pelatihan-pelatihan yang intensif dilengkapai dengan kegiatan-kegiatan studi-banding yang relavan akan memudahkan gerak kemajuan pertanian ekologis tersebut.

Kelima, belum adanya regulasi (terutama di Indonesia) dan badan sertifikasi yang terjamin kredibilitasnya, sehingga bisa melahirkan trust antara produsen dan konsumen, yang pada gilirannya akan menopang berkembangnya bisnis pertanian dan produk organik.

Barangkali, regulasi yang harus dikeluarkan pemerintah juga harus mencakup adanya jaminan proses transaksi perdagangan yang ‘fair-trade’, yang saling memberikan keuntungan layak bagi petani kecil sebagai produsen, buruh, pelaku bisnis pendukung dan konsumen. Sehingga semua untung, semua mendapatkan bagiannya secara adil. Dengan demikian, produsen (terutama petani kecil/buruh) bisa mengenyam keuntungan yang sesungguhnya. Tidak hanya sekedar memberikan subsidi ‘derma’ kepada para pemodal besar yang menguasai distribusi dan pemasaran produk pertanian, seperti yang selalu terjadi hingga sekarang ini. Sehingga gagasan tinggi untuk menjadikan model pertanian organik sebagai salah satu cara tambahan untuk mengatasi kemiskinan petani kecil, bisa diwujudkan.

Sedangkan perihal sertifikasi, sudah semestinya pemerintah juga memberikan subsidi dan dukungan sepenuhnya, sehingga ada kemudahan bagi petani kecil untuk mendapatkan sertifikasi untuk produk-produknya. Harapanya, selain prosenya mudah biaya administrasinya juga relatif terjangkau bagi produsen (petani) kecil, sehingga ada kemudahan sekaligus motivasi kuat dikalangan petani kecil untuk mengembangkan usahanya.

***

Mengulang kembali apa yang telah sedikit disinggung di awal tulisan ini, bahwa model pertanian organik sangatlah menarik dan bisa menjadi terobosan alternatif untuk mengurangi beberapa masalah yang dihadapi masyarakat luas dewasa ini. Keunggulan-keunggulan dan potensi besar yang dimiliki pertanian organik bisa dielaborasi lebih lanjut seperti berikut ini.

Meningkatkan pendapatan petani kecil. Pertanian organik sangat potensial untuk mengatasi rendahnya pendapatan petani kecil, mengingat produk pertanian organik lebih diminati kelas menengah, yang nota bene memiliki daya beli untuk produk-produk dengan banderol premiun (seperti produk organik) dan punya kesadaran yang relatif tinggi dalam hal kesehatan dan isu lingkungan. Meskipun, peran tengkulak atau distributor seringkali menggagalkan potensi pendapatan petani kecil tersebut. Di sini, peran negara seharusnya bekerja untuk menjamin tegaknya transaksi ‘fair’ yang bisa memberikan harapan petani kecil untuk mengamankan nilai lebih hasil produksinya.

Menyerap lebih banyak tenaga kerja. Layaknya pola pertanian tradisional, perlakuan khusus terhadap komoditi tanaman organik merupakan pekerjaan yang padat karya, sehingga sistem pertanian tersebut bisa menyerap lebih banyak ternaga kerja dibandingkan dengan pola konvensional. Karakteristik tersebut, tentu saja sangat sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia yang memiliki angka penganggurang sangat tinggi.

Disamping itu, urgen-nya peningkatan kapasitas petani dan kelembagaannya, juga akan membuka peluang kerja bagi pengangguran terdidik dibidang lingkungan dan pertanian serta bidang relevan lain untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuannya mendampingi dan mendidik petani kecil yang berkecimpung di sektor pertanian organik tersebut.

Mengurangi pencemaran lingkungan. Selama ini sistem pertanian yang konvensional, yang modern dan bukan yang ekologis, sejak era 60-an ketika revolusi hijau mulai diperkenalkan telah terbukti mampu mendongkrak hasil panen petani. Namun demikian, sistem yang ditopang dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang populer dengan istilah ‘Panca Usaha Tani’ tersebut, terbukti telah memberikan dampak buruk terhadap lingkungan dan keberlanjutan usaha pertanian itu sendiri.

Sistem Panca Usaha Tani, menekankan pada cara pengolahan tanah yang intensif, penyemaian bibit yang unggul, aplikasi pupuk sintetis (bukan organik), sistem irigasi yang maksimal, serta pengendalian hama tanaman secara serentak atau menyeluruh dengan pestisida sintetis (kimiawi), sehingga terjadi exploitasi tanah dan air yang berlebihan, juga pencemaran tanah dan air yang tidak hanya berbahaya bagi kehidupan biota sekitarnya (ekosistim setempat), tapi juga mengancam kesehatan jangka panjang manusia. Karena pestisida dan pupuk kimiawi terbukti meninggalkan residu di dalam produk pertanian yang dihasilkan. Dan, bisa tertimbun dalam tubuh siapapun yang mengkonsumsi produk tersebut.

Turut berperan dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Seperti kita tahu bahwa kesehatan manusia berkaitan erat dengan apa yang mereka makan dan bagaimana kualitas lingkungan mereka. Dengan adanya bahan pangan organik, asumsinya apa yang dikonsumsi masyarakat akan menjadi lebih sehat. Paling tidak, sumber pangan mereka tidak lagi mengandung residu bahan-bahan kimia, baik dari pupuk, herbisida, fungisida, dan pestisida kimiawi, yang menurut para ahli kesehatan sangat berbahaya bagi kesehatan manusia.

Lebih jauh lagi, aplikasi pestisida pada lahan pertanian juga terbukti telah turut mencemari perairan, tanah, dan udara yang dekat dengan lahan pertanian. Tanah, air, dan udara yang tercemar tentu saja akan mengancam tidak hanya manusia tapi juga lingkungan serta biota yang melengkapinya. Sedangkan manusia juga bagian dari ujung tertinggi rantai makanan, bisa dipastikan manusia akan menjadi pengepul terakhir polutan yang ada di lingkungannya. Bisa kita bayangkan akumulasinya.

Turut mengurangi produksi emisi gas rumah kaca (GRK). Dikaitan dengan isu dunia, global warming, sistem pertanian organik bisa menjadi salah satu upaya untuk mengurangi produksi GRK. Seperti yang terungkap dalam hasil beberapa riset bahwa aplikasi pupuk kimiawi juga punya kontribusi tidak sedikit bagi meningkatnya emisi GRK, yakni nitrogen dioksida, yang berasal dari hasil peruraian pupuk tanaman non-organik (Kompas, 1/10/2007).

***

Pemetaan sederhana tentang potensi dan kendala sistem pertanian organik di atas, diharapkan bisa memberikan tambahan wacana bagi kita semua utuk menimbang-nimbang, desakan seperti apa yang layak kita bidikkan kepada pemerintah dan stakeholders lain, serta peran apa yang bisa kita ambil untuk mensikapi gagasan perihal pertanian organik tersebut.

Dengan kapasitanya, pemerintah perlu bergerak dan berupaya lebih lekas untuk menjamin berjalannya model pertanian organik dengan melibatkan seluruh stakeholders, termasuk petani sendiri, LSM, koperasi, jaringan pertanian organik, konsumen, sektor swasta, lembaga pemerintah dan organisasi lintas pemerintahan. Singkatnya, model pertanian orgnik seharusnya menjadi bagian integral kebijakan pemerintah dalam mewujudkan pembangunan daerah perdesaan dan pertanian nasional.

Selain itu pemerintah juga harus memberikan dukungan tambahan kepada para petani berupa pelatihan-pelatihan tentang pertanian organik dan tata kelolanya, serta studi banding ke tempat lain yang sudah berhasil, mengingat model pertanian organik sudah puluhan tahun tidak dipraktekan lagi oleh petani, selain sudah semakin berkembangnya temuan baru soal tehnologi pertanian organik yang sudah banyak diterapkan di belahan dunia lain. ***

Senin, 01 Maret 2010

Kerja Keras, Salah Satu Kuncinya

From zero to hero. Kalimat pendek tersebut barangkali bisa merangkum cerita panjang pergulatan Sudiyono (54) dalam mengubah nasib dirinya dan teman sesama petani lewat budidaya salak pondoh di Dusun Candi, Desa Bangunkerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Itimewa Yogyakarta.

Bapak dua anak, sekaligus kakek seorang cucu ini adalah sosok pekerja keras, entengan atau cekatan dan tulus dalam membantu orang lain, serta tidak pernah bohong. Dengan karakter yang demikian, sudah barang tentu masyarakat selalu menaruh kepercayaan dan mengikuti jalan pikirannya. Terbukti mereka yang dulunya menjadi buruhnya, kini telah menjadi petani yang sama, turut menjadi makmur. Karena beliau tidak pernah pelit memberikan ilmunya, bahkan turut memodali bekas buruhnya dengan bibit-bibit yang sama unggulnya.

Tak sedikit petani lain di daerah Turi yang menjulukinya sebagai pakar salak pondoh. Karena beliau lah yang telah berhasil menjinakan sulitnya budidaya salak pondoh, yakni dengan metode vegetatif (cangkok), dengan memanfaatkan botol plastik bekas kemasan infus. Ini merupakan terobosan jitu untuk memastikan sifat unggul salak pondoh varietas super tetap terwariskan pada bibit-bibit berikutnya. Sebelumnya metode pembiakan dengan ‘tanam biji’ juga pernah dilakukan, akan tetapi sifat-sifat istimewa tanaman tersebut tidak selalu terbawa pada generasi berikutnya. “Nah, metode cangkok dengan plastik bekas infus inilah yang bisa diandalkan untuk mendapatkan bibit turunan yang memiliki karakter seratus persen sama dengan induknya”, terang Sudiyono dengan antusias.

Menurut Beliau dan pengakuan petani lain, Kecamatan Turi awalnya merupakan kawasan pertanian padi, tembakau, jagung, dan beberapa jenis palawija lain yang kurang produktif, serta belum bisa mengubah nasib mereka yang saat itu tergolong miskin dan terbelakang. Lahan pertanian mereka yang terdiri dari tanah regosal dengan ketinggian tanah sekitar 300 meter dari permukaan laut, kurang menghasilkan keuntungan yang memadahi untuk pertanian padi, belum lagi potensi pengairan yang saat itu belum bisa menjamin kebutuhan pertanian sepanjang tahun.

Pada era sekitar 1975, Sudiyono mencoba meraba-raba, apa gerangan yang membuat petani di sekitarnya tak kunjung mampu lepas dari kubangan kemiskinan yang telah turun-temurun. Sedangkan kalau ditinjau dari lahan yang mereka miliki, hampir semua dari mereka memiliki tanah pertanian yang cukup luas. Kemudian beliau mengkaji, dengan bekal pengetahuan soal manajemen, yang didapatkan dari bangku perguruan tinggi, dihitunglah untung-rugi pertanian yang saat itu sedang dijalankan para petani. Maka ketemulah sebuah kesimpulan bahwa apa yang telah dikerjakan petani belum bisa menghasilkan panen yang bisa memberikan ‘bathi’ (keungtungan) yang mencukupi kebutuhan hidup mereka. Bahkan, bisa dikatakan cenderung ‘pak-puk’ atau impas saja. “Segitu biaya yang dikeluarkan, segitu pula hasil panen yang didapatkan” kesimpulan Sudiyono setelah melakukan ‘itung-itungan’ sederhana, mengukur tingkat ekonomis budidaya tanaman produktif saat itu. Sehingga, mereka justru merugi pada aspek waktu, tenaga, dan pikiran yang telah mereka curahkan untuk proses produksi tersebut.

Kesimpulan dari ‘penakaran’ tersebut telah mendorong Sudiyono keras memutar otak guna mencari solusi yang bisa mendedah persoalan tersebut. Setelah berbulan-bulan berfikir, akhirnya beliau bisa membaca potensi yang ada. Beliau melihat tanaman salak yang tumbuh subur di tegalan warisan orangtuanya. Kebetulan banyak jenis salak yang tumbuh alamiah di Dusun Candi tersebut. Akan tetapi hanya sedikit jenis yang memiliki keunggulan. Nah, seperti berkah yang sengaja disediakan oleh alam, di kebun warisan tersebut terdapat rumpun pohon salak yang sangat istimewa, yakni salak pondoh jenis super.

Beliau mencoba mengembangkan tanaman tersebut. Tentu saja dibutuhkan proses panjang, dan tak lepas dari bermacam kendala yang harus beliau taklukkan. Diantaranya, statusnya yang masih tergolong muda saat itu, membuatnya kesulitan dalam meyakinkan para petani di sekitarnya yang notabene para golongan tua dan sudah puluhan tahun menggeluti pertanian selain salak. Untuk alasan itu, beliau masuk dulu ke golongan pemuda. Meskipun melalui proses yang tidak gampang, akhirnya berhasil juga para pemuda diorganir untuk mengikuti langkahnya.

Ada kendala lain yang tak kalah pelik, yakni kemampuan ekonomi petani yang rendah untuk pengadaan bibit. Mereka masih miskin, tidak punya uang, tetapi sangat membutuhkan jalan keluar untuk mengubah model pertaniannya. Saat itu, harga bibit salak pondoh memang masih sangat mahal, mengingat sulit dan terbatasnya bibit yang bisa dihasilkan. “Jaman itu, sekitar tahun 1980, satu bibit salak pondoh harganya setara dengan harga 1 gram emas”, tutur Sudiyono. Sehingga, beliau menggunakan pendekatan yang ‘fleksibel’ untuk mendamaikan kepentingannya—mengembangkan komunitas dan kawasan perkebunan salak—dengan kondisi ekonomi masyarakat yang belum memungkinkan untuk membeli bibit dalam partai besar dan kontan. “Luwes saja, ada yang menukar dengan ayam, dengan tenaga mereka, juga ada yang kredit dulu. Kami juga membatasi dengan hanya memberikan lima batang bibit untuk masing-masing petani. Agar merata sebarannya,” Sudiyono mengisahkan dengan tertawa ringan. Baginya, yang tersulit adalah mengubah pola pikir rekan-rekan sesama petani untuk percaya diri beralih ke komuditas yang lebih sesuai dengan karakter tanah, cuaca, dan lebih menguntungkan secara ekonomi dan keberlanjutan ekosistem setempat. Mengingat pertanian salak pondoh lebih hemat dari sisi penggunaan air, obat-obatan dan pupuk kimiawi, karena lebih sedikit jenis hama yang bisa mengancam keberadaannya. Sehingga dari sisi kelestarian lingkungan, budidaya vegetasi perdu tersebut jauh lebih ‘green’ dibandingkan pertanian ‘padi sawah basah’ yang sebelumnya digeluti masyarakat di Dusun Candi dan sekitarnya.

Seiring dengan berkembangnya komunitas dan semakin luasnya sebaran rumpun-rumpun tanaman berduri tersebut, Sudiyono juga berusaha memformalkan kebersamaan komunitasnya, hingga lahirlah sebuah Kelompok Tani (KT) Manunggal, yang peresmiaannya diselaraskan dengan hadirnya Sri Paduka Paku Alam ke-8 mewakili Gubernur DIY, tahun 1984. “Waktu itu, meskipun masih muda saya dalam posisi sebagai KK (kepala keluarga) karena ayah saya telah meninggal. Sehingga setiap pertemuan RT, saya yang mewakili. Nah, forum RT itu lah yang saya manfaatkan untuk merintis terbentuknya KT Manunggal,” kisah Sudiyono menyangkut organisasi kebanggaannya.

Berdirinya KT Manunggal direspon secara positif oleh Pemerintah Desa dan pihak Kabupaten lewat Dinas Pertaniannya, sehingga datanglah secara berkala Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) ke Dusun Candi dan dusun lain Desa Bangunkerto, guna turut memberikan bantuan teknis dalam pengembangan budidaya tanaman perdu tersebut. Menindaklanjuti hubungan harmonis yang berhasil terbangun, pada akhirnya Dinas Pertanian juga memberikan bantuan uang untuk pengadaan bibit kepada kelompok tani tersebut.

Perhatian yang semakin baik dari pemerintah turut memacu kegigihan Sudiyono untuk menggerakkan kelompoknya, mewujudkan mimpinya lepas dari belenggu kemiskinan menahun. Masa pengembangan yang telah berlangsung sekitar sepuluh tahun (1980-1990) terlewati sudah. Kerja keras mereka semakin nyata hasilnya. Perlahan tapi pasti keuntungan perkebunan mereka mulai mendongkrak kekuatan ekonominya. Perluasan lahan pun terus diupayakan. Tenaga kerja dalam jumlah besar mulai dibutuhkan. Desa lain mulai ikut berperan dalam menyediakan kebutuhan tersebut. Tak kurang seribu buruh dari desa sekitar didatangkan, terutama dari Desa Kali Angkrik. Percepatan perluasan perkebunan terus terjadi. Hampir seluruh dusun dan kampung dikonversi menjadi perkebunan salak pondoh. Tercatat dari 703 hectar wilayah pertanian Desa Bangunkerto, hanya 20% saja yang tidak ditanami tanaman berduri tersebut.

Desa-desa dan kecamatan lain, mulai dari Turi, Tempel, Pakem, daerah Sleman Utara hingga Magelang, pada gilirannya juga turut mengekor, terjun ke pertanian agrobisnis salak pondoh. Bahkan, kini ada beberapa daerah lain di Jawa, termasuk daerah-daerah tertentu di luar Jawa mulai merintis budidaya komuditas serupa beberapa tahun terakhir ini. Seperti, Banjarnegara, Bogor, Tasikmalaya, Aceh, dst. Konon, Thailand dan Malaysia juga mulai melirik untuk mengembangkan agrobisnis dengan varietas salak yang sama.

Kemajuan dan perubahan luar biasa tersebut telah membawa Sudiyono populer. Banyak kelompok tani dari tempat lain datang dan menimba pengalaman darinya. Tak ketinggalan, para tokoh penting negeri ini, dan beberapa orang asing terhormat, juga pernah bertandang ke rumahnya. Diantaranya, Menteri Negera Kependudukan Haryono Suyono, Menteri Penerangan masa Orde Baru Harmoko, Menteri Sosial Belanda (1993), Menteri dalam Negeri Rudini, Irjen Pembangunan, dan masih banyak lagi, termasuk para wisatawan manca negara yang ingin sekedar berlibur di Dusun Candi.

Belakangan harga salak pondoh di pasaran mulai menurun. Panen dua kali setahun dan skala produksi yang melimpah, serta kejenuhan pasar lokal dan nasional, disinyalir menjadi penyebab merosotnya nilai ekonomi buah asli Indonesia tersebut. Kecenderungan kurang menggembirakan tersebut telah mendorong Sudiyono untuk memikirkan alternatif jawaban untuk menyapa persoalan baru tersebut. Dengan moto, “Apa yang saya kerjakan saat ini, adalah untuk rezeki saya lima atau sepuluh tahun ke depan”, beliau mulai merintis upaya diversifikasi sumber penghidupannya. Menanam tanaman keras jenis sengon di sela-sela lahan salak yang masih kosong (atau sistem tumpangsari), seperti di tanggul-tanggul tepi kebun, perengan (lereng) pinggiran sungai, dan lahan lain yang belum tersita oleh rumpun-rumpun tanaman salak. “Sambil untuk konservasi lingkungan, Mas”, dalih mulia yang terucap spontan penuh keyakinan.

Cara pandang Sudiyono cukup rasional sekaligus jitu. Beliau sudah mempersiapkan ‘bumper’ bilamana suatu saat nanti komoditi salak benar-benar sudah tidak menghasilkan ‘legit’ kemakmuran lagi, beliau sudah punya tumpuan penyangga ekonomi, yang bisa diandalkan dan memungkinkan lancarnya proses transisi menuju komoditi alternatif lain.

Sebenarnya tidak itu saja, kelompok taninya juga mulai mengupayakan diversifikasi barang dagangan, dengan mengolah salak menjadi produk olahan baru seperti sirup, selai, jenang (dodol), kripik, dan manisan salak, yang ternyata juga laku keras dan bisa memberikan alternatif penghasilan.

Upaya untuk menjajaki export ke luar negeri juga tak lepas dari upaya mereka, akan tetapi standar baku mutu yang ketat yang ditetapkan oleh importir dan negara tujuan telah mengendurkan upaya mereka. Belum lagi batas volume minimal yang disyaratkan, membuat mereka pesimis untuk bisa memenuhi. Akhirnya, peluang tersebut telah diambil oleh pengusaha lain yang memiliki kapasitas dan jaringan yang lebih luas.

Kini Sudiyono terus bergerak maju, berkendara KT Manunggal, bekerja keras men-diversifikasi produk pertaniaanya seraya mengembangkan cara bertani yang lebih ‘green’. Tak terduga, beliau juga sudah kenal dengan isu-isu lingkuangan terkini. “Sekarang saatnya bertindak Mas, sudah cukup ngomongnya. Saya sudah menanam sengon dan tanaman cepat tumbuh lain. Melu-melu penghijauan untuk mengatasi pemanasan global”, pungkasnya dengan tertawa lebar.***
Note: Tulisan ini, hasil wawancara dengan Sudiyono, tokoh petani pelopor, pemberdayaan masyarakat miskin.