Senin, 01 Maret 2010

Kerja Keras, Salah Satu Kuncinya

From zero to hero. Kalimat pendek tersebut barangkali bisa merangkum cerita panjang pergulatan Sudiyono (54) dalam mengubah nasib dirinya dan teman sesama petani lewat budidaya salak pondoh di Dusun Candi, Desa Bangunkerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Itimewa Yogyakarta.

Bapak dua anak, sekaligus kakek seorang cucu ini adalah sosok pekerja keras, entengan atau cekatan dan tulus dalam membantu orang lain, serta tidak pernah bohong. Dengan karakter yang demikian, sudah barang tentu masyarakat selalu menaruh kepercayaan dan mengikuti jalan pikirannya. Terbukti mereka yang dulunya menjadi buruhnya, kini telah menjadi petani yang sama, turut menjadi makmur. Karena beliau tidak pernah pelit memberikan ilmunya, bahkan turut memodali bekas buruhnya dengan bibit-bibit yang sama unggulnya.

Tak sedikit petani lain di daerah Turi yang menjulukinya sebagai pakar salak pondoh. Karena beliau lah yang telah berhasil menjinakan sulitnya budidaya salak pondoh, yakni dengan metode vegetatif (cangkok), dengan memanfaatkan botol plastik bekas kemasan infus. Ini merupakan terobosan jitu untuk memastikan sifat unggul salak pondoh varietas super tetap terwariskan pada bibit-bibit berikutnya. Sebelumnya metode pembiakan dengan ‘tanam biji’ juga pernah dilakukan, akan tetapi sifat-sifat istimewa tanaman tersebut tidak selalu terbawa pada generasi berikutnya. “Nah, metode cangkok dengan plastik bekas infus inilah yang bisa diandalkan untuk mendapatkan bibit turunan yang memiliki karakter seratus persen sama dengan induknya”, terang Sudiyono dengan antusias.

Menurut Beliau dan pengakuan petani lain, Kecamatan Turi awalnya merupakan kawasan pertanian padi, tembakau, jagung, dan beberapa jenis palawija lain yang kurang produktif, serta belum bisa mengubah nasib mereka yang saat itu tergolong miskin dan terbelakang. Lahan pertanian mereka yang terdiri dari tanah regosal dengan ketinggian tanah sekitar 300 meter dari permukaan laut, kurang menghasilkan keuntungan yang memadahi untuk pertanian padi, belum lagi potensi pengairan yang saat itu belum bisa menjamin kebutuhan pertanian sepanjang tahun.

Pada era sekitar 1975, Sudiyono mencoba meraba-raba, apa gerangan yang membuat petani di sekitarnya tak kunjung mampu lepas dari kubangan kemiskinan yang telah turun-temurun. Sedangkan kalau ditinjau dari lahan yang mereka miliki, hampir semua dari mereka memiliki tanah pertanian yang cukup luas. Kemudian beliau mengkaji, dengan bekal pengetahuan soal manajemen, yang didapatkan dari bangku perguruan tinggi, dihitunglah untung-rugi pertanian yang saat itu sedang dijalankan para petani. Maka ketemulah sebuah kesimpulan bahwa apa yang telah dikerjakan petani belum bisa menghasilkan panen yang bisa memberikan ‘bathi’ (keungtungan) yang mencukupi kebutuhan hidup mereka. Bahkan, bisa dikatakan cenderung ‘pak-puk’ atau impas saja. “Segitu biaya yang dikeluarkan, segitu pula hasil panen yang didapatkan” kesimpulan Sudiyono setelah melakukan ‘itung-itungan’ sederhana, mengukur tingkat ekonomis budidaya tanaman produktif saat itu. Sehingga, mereka justru merugi pada aspek waktu, tenaga, dan pikiran yang telah mereka curahkan untuk proses produksi tersebut.

Kesimpulan dari ‘penakaran’ tersebut telah mendorong Sudiyono keras memutar otak guna mencari solusi yang bisa mendedah persoalan tersebut. Setelah berbulan-bulan berfikir, akhirnya beliau bisa membaca potensi yang ada. Beliau melihat tanaman salak yang tumbuh subur di tegalan warisan orangtuanya. Kebetulan banyak jenis salak yang tumbuh alamiah di Dusun Candi tersebut. Akan tetapi hanya sedikit jenis yang memiliki keunggulan. Nah, seperti berkah yang sengaja disediakan oleh alam, di kebun warisan tersebut terdapat rumpun pohon salak yang sangat istimewa, yakni salak pondoh jenis super.

Beliau mencoba mengembangkan tanaman tersebut. Tentu saja dibutuhkan proses panjang, dan tak lepas dari bermacam kendala yang harus beliau taklukkan. Diantaranya, statusnya yang masih tergolong muda saat itu, membuatnya kesulitan dalam meyakinkan para petani di sekitarnya yang notabene para golongan tua dan sudah puluhan tahun menggeluti pertanian selain salak. Untuk alasan itu, beliau masuk dulu ke golongan pemuda. Meskipun melalui proses yang tidak gampang, akhirnya berhasil juga para pemuda diorganir untuk mengikuti langkahnya.

Ada kendala lain yang tak kalah pelik, yakni kemampuan ekonomi petani yang rendah untuk pengadaan bibit. Mereka masih miskin, tidak punya uang, tetapi sangat membutuhkan jalan keluar untuk mengubah model pertaniannya. Saat itu, harga bibit salak pondoh memang masih sangat mahal, mengingat sulit dan terbatasnya bibit yang bisa dihasilkan. “Jaman itu, sekitar tahun 1980, satu bibit salak pondoh harganya setara dengan harga 1 gram emas”, tutur Sudiyono. Sehingga, beliau menggunakan pendekatan yang ‘fleksibel’ untuk mendamaikan kepentingannya—mengembangkan komunitas dan kawasan perkebunan salak—dengan kondisi ekonomi masyarakat yang belum memungkinkan untuk membeli bibit dalam partai besar dan kontan. “Luwes saja, ada yang menukar dengan ayam, dengan tenaga mereka, juga ada yang kredit dulu. Kami juga membatasi dengan hanya memberikan lima batang bibit untuk masing-masing petani. Agar merata sebarannya,” Sudiyono mengisahkan dengan tertawa ringan. Baginya, yang tersulit adalah mengubah pola pikir rekan-rekan sesama petani untuk percaya diri beralih ke komuditas yang lebih sesuai dengan karakter tanah, cuaca, dan lebih menguntungkan secara ekonomi dan keberlanjutan ekosistem setempat. Mengingat pertanian salak pondoh lebih hemat dari sisi penggunaan air, obat-obatan dan pupuk kimiawi, karena lebih sedikit jenis hama yang bisa mengancam keberadaannya. Sehingga dari sisi kelestarian lingkungan, budidaya vegetasi perdu tersebut jauh lebih ‘green’ dibandingkan pertanian ‘padi sawah basah’ yang sebelumnya digeluti masyarakat di Dusun Candi dan sekitarnya.

Seiring dengan berkembangnya komunitas dan semakin luasnya sebaran rumpun-rumpun tanaman berduri tersebut, Sudiyono juga berusaha memformalkan kebersamaan komunitasnya, hingga lahirlah sebuah Kelompok Tani (KT) Manunggal, yang peresmiaannya diselaraskan dengan hadirnya Sri Paduka Paku Alam ke-8 mewakili Gubernur DIY, tahun 1984. “Waktu itu, meskipun masih muda saya dalam posisi sebagai KK (kepala keluarga) karena ayah saya telah meninggal. Sehingga setiap pertemuan RT, saya yang mewakili. Nah, forum RT itu lah yang saya manfaatkan untuk merintis terbentuknya KT Manunggal,” kisah Sudiyono menyangkut organisasi kebanggaannya.

Berdirinya KT Manunggal direspon secara positif oleh Pemerintah Desa dan pihak Kabupaten lewat Dinas Pertaniannya, sehingga datanglah secara berkala Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) ke Dusun Candi dan dusun lain Desa Bangunkerto, guna turut memberikan bantuan teknis dalam pengembangan budidaya tanaman perdu tersebut. Menindaklanjuti hubungan harmonis yang berhasil terbangun, pada akhirnya Dinas Pertanian juga memberikan bantuan uang untuk pengadaan bibit kepada kelompok tani tersebut.

Perhatian yang semakin baik dari pemerintah turut memacu kegigihan Sudiyono untuk menggerakkan kelompoknya, mewujudkan mimpinya lepas dari belenggu kemiskinan menahun. Masa pengembangan yang telah berlangsung sekitar sepuluh tahun (1980-1990) terlewati sudah. Kerja keras mereka semakin nyata hasilnya. Perlahan tapi pasti keuntungan perkebunan mereka mulai mendongkrak kekuatan ekonominya. Perluasan lahan pun terus diupayakan. Tenaga kerja dalam jumlah besar mulai dibutuhkan. Desa lain mulai ikut berperan dalam menyediakan kebutuhan tersebut. Tak kurang seribu buruh dari desa sekitar didatangkan, terutama dari Desa Kali Angkrik. Percepatan perluasan perkebunan terus terjadi. Hampir seluruh dusun dan kampung dikonversi menjadi perkebunan salak pondoh. Tercatat dari 703 hectar wilayah pertanian Desa Bangunkerto, hanya 20% saja yang tidak ditanami tanaman berduri tersebut.

Desa-desa dan kecamatan lain, mulai dari Turi, Tempel, Pakem, daerah Sleman Utara hingga Magelang, pada gilirannya juga turut mengekor, terjun ke pertanian agrobisnis salak pondoh. Bahkan, kini ada beberapa daerah lain di Jawa, termasuk daerah-daerah tertentu di luar Jawa mulai merintis budidaya komuditas serupa beberapa tahun terakhir ini. Seperti, Banjarnegara, Bogor, Tasikmalaya, Aceh, dst. Konon, Thailand dan Malaysia juga mulai melirik untuk mengembangkan agrobisnis dengan varietas salak yang sama.

Kemajuan dan perubahan luar biasa tersebut telah membawa Sudiyono populer. Banyak kelompok tani dari tempat lain datang dan menimba pengalaman darinya. Tak ketinggalan, para tokoh penting negeri ini, dan beberapa orang asing terhormat, juga pernah bertandang ke rumahnya. Diantaranya, Menteri Negera Kependudukan Haryono Suyono, Menteri Penerangan masa Orde Baru Harmoko, Menteri Sosial Belanda (1993), Menteri dalam Negeri Rudini, Irjen Pembangunan, dan masih banyak lagi, termasuk para wisatawan manca negara yang ingin sekedar berlibur di Dusun Candi.

Belakangan harga salak pondoh di pasaran mulai menurun. Panen dua kali setahun dan skala produksi yang melimpah, serta kejenuhan pasar lokal dan nasional, disinyalir menjadi penyebab merosotnya nilai ekonomi buah asli Indonesia tersebut. Kecenderungan kurang menggembirakan tersebut telah mendorong Sudiyono untuk memikirkan alternatif jawaban untuk menyapa persoalan baru tersebut. Dengan moto, “Apa yang saya kerjakan saat ini, adalah untuk rezeki saya lima atau sepuluh tahun ke depan”, beliau mulai merintis upaya diversifikasi sumber penghidupannya. Menanam tanaman keras jenis sengon di sela-sela lahan salak yang masih kosong (atau sistem tumpangsari), seperti di tanggul-tanggul tepi kebun, perengan (lereng) pinggiran sungai, dan lahan lain yang belum tersita oleh rumpun-rumpun tanaman salak. “Sambil untuk konservasi lingkungan, Mas”, dalih mulia yang terucap spontan penuh keyakinan.

Cara pandang Sudiyono cukup rasional sekaligus jitu. Beliau sudah mempersiapkan ‘bumper’ bilamana suatu saat nanti komoditi salak benar-benar sudah tidak menghasilkan ‘legit’ kemakmuran lagi, beliau sudah punya tumpuan penyangga ekonomi, yang bisa diandalkan dan memungkinkan lancarnya proses transisi menuju komoditi alternatif lain.

Sebenarnya tidak itu saja, kelompok taninya juga mulai mengupayakan diversifikasi barang dagangan, dengan mengolah salak menjadi produk olahan baru seperti sirup, selai, jenang (dodol), kripik, dan manisan salak, yang ternyata juga laku keras dan bisa memberikan alternatif penghasilan.

Upaya untuk menjajaki export ke luar negeri juga tak lepas dari upaya mereka, akan tetapi standar baku mutu yang ketat yang ditetapkan oleh importir dan negara tujuan telah mengendurkan upaya mereka. Belum lagi batas volume minimal yang disyaratkan, membuat mereka pesimis untuk bisa memenuhi. Akhirnya, peluang tersebut telah diambil oleh pengusaha lain yang memiliki kapasitas dan jaringan yang lebih luas.

Kini Sudiyono terus bergerak maju, berkendara KT Manunggal, bekerja keras men-diversifikasi produk pertaniaanya seraya mengembangkan cara bertani yang lebih ‘green’. Tak terduga, beliau juga sudah kenal dengan isu-isu lingkuangan terkini. “Sekarang saatnya bertindak Mas, sudah cukup ngomongnya. Saya sudah menanam sengon dan tanaman cepat tumbuh lain. Melu-melu penghijauan untuk mengatasi pemanasan global”, pungkasnya dengan tertawa lebar.***
Note: Tulisan ini, hasil wawancara dengan Sudiyono, tokoh petani pelopor, pemberdayaan masyarakat miskin.