Rabu, 27 Oktober 2010

Menerjang Lendut Gembel*

Magelang, Selasa 26 Oktober 2010

Mendekati tempat tinggal Mas Kencuk, asisten lokal kami dalam melakukan riset, beberapa lelaki terlihat berkerumun di tepi jalan. Kondisinya sudah gelap, mereka seperti habis mengamati sesuatu. Kami sedikit bertanya-tanya ada apa gerangan, dan hanya bisa menduga-duga. Tak berhasil memastikan jawabannya.


Sebentar kemudian, mobil kami memutar, Mas Kecuk mengucap salam perpisahan. “Oke, sampai ketemu besuk Mas Kencuk. Untuk acara besuk kami dari Jogja agak siangan, mungkin jam delapan Mas,” Pak Titok memastikan janjinya, untuk kegiatan hari kedua riset kami.


Belum genap dua kilo meter kendaraan kami menyusuri jalan menurun itu, “Kletak-kletok, kletak-kletok”, hantaman benda kecil menghentak-hentak merata di seluruh body kendaraan kami, Avansa 2009.


“Mas hujan abu! Hujan abu Merapi ini Mas...!” Pak Titok menyela dengan pandangan sedikit heran, terbuang ke depan sambil terus menginjak gas dan mencermati batu-batu seukuran kedelai yang loncat terpelanting dari kaca depan kendaraan.


“Iya, hujan krikil Merapi... sebaiknya kita terus saja. Kita sedang bergerak menjauh ini. Kita terus saja Pak!” sahutku dengan sedikit kawatir sambil menurunkan volume audio, yang sedari pagi tak lelah menghibur kami.


Toyota kami terus meluncur menyusuri jalan yang semakin lurus polanya, meski semakin pelan, meninggalkan Kecamatan Sawangan, lereng Barat Daya Merapi, satu di antara dua kecamatan dimana kami berdua sedang melakukan riset tentang PNPM Mandiri Perdesaan, untuk hari pertama, di Kabupaten Magelang.


Tidak sendirian, ada beberapa mobil dan sepeda motor yang juga berebut saling mendahului di jalan yang semakin gulita itu. Hari yang semakin malam, dan kerapatan hujan kerikil vulkanik semakin memangkas jarak pandang kami.


Keheranan kami bertambah ketika tak lama kemudian, guyuran kerikil vulkanik perlahan berganti menjadi hujan abu basah atawa rintik-rintik lumpur yang jelas mengganggu wiper penyeka kaca depan mobil kami.


Laju kendaraan kami terpaksa melambat, tidak hanya karena kaca kendaraan semakin pekat berbalut lumpur vulkanik yang kian menebal, tapi juga iringan kendaraan yang ada di depan kami, bergerak semakin lengket dengan jalan beraspal karena timbunan lumpur vulkanik juga tak henti meninggi.


Sejujurnya, aku menjadi sedikit panik. Namun, masih berusaha untuk tetap tenang dan menghibur diri, “Alat rekamku tak hidupkan Pak, biar seperti fungsi ‘kotak hitam’ pesawat, merekam kepanikan kita,” aku kembali melontarkan candaan. Sementara Pak Titok tertawa ringan dan kembali berkonsentrasi memastikan laju kendaraan kami agar tetap aman terkendali.


Jalannya kendaraan yang lambat, memberikan kesempatan padaku untuk mengamati penduduk yang ada di sepanjang jalan, dari kaca samping yang relatif lebih tipis lumpurnya (barangkali karena posisinya yang lebih vertikal bila dibandingkan dengan kaca depan dan belakang). Sebagian dari mereka terlihat biasa, seperti tidak ada yang istimewa dan dirisaukan. Kami berfikir bahwa, “Barangkali mereka sudah sering mengalami hujan sebentuk itu.” Lagi pula, belakangan isu tentang segera ‘njebluknya’ merapi terdengar semakin santer di kalangan warga Magelang, Yogyakarta, dan sekitarnya, bahkan sudah menjadi wacana media massa nasional.


Sebentar kemudian, kami berdekatan dengan sebuah mobil pick-up, yang terpaksa berhenti karena wiper kacanya macet terbenam lapisan lumpur vulkanik. Sang sopir, seorang lelaki tua, terpaksa harus turun dari mobil, bermandikan hujan lumpur, menuju selokan kiri jalan untuk mengambil air, hanya dengan kedua tangannya, mengguyur dan menyeka kaca agar tembus pandang lagi.


Kami tak tahan untuk tertawa melihat kejadian itu, sekaligus bertambah resah, karena gerak wiper kaca depan semakin berat dan berderit-derit. Sedangkan cadangan air yang akan menyembur ketika tombol kendalinya dipencet, sudah tidak bisa mancur lagi. Alat penjernih kaca depan itu, menjadi tidak bekerja maksimal. Jarak pandang kami terganggu, hanya bisa melihat jalan beberapa meter saja. Rasa takut mulai menjalari sekujur tubuhku, mengingat betapa berbahayanya berkendara dengan pandangan yang amat terbatas. Belum lagi jalan yang kami lewati tidak begitu lebar, dengan dua selokan lumayan lebar mengapitnya, lekap sudah kekawatiranku, “Wah ini gimana ya?” kalimatku yang tidak ceria lagi “Sepertinya kita harus berhenti dulu Mas. Kita berteduh dulu. Nanti kita cuci kaca depan dengan air minum kita, baru jalan lagi,” Pak Titok mencoba mencari jalan keluar.


Tepat di depan sebuah kios celuler, kami sepakat untuk menepi ke kiri jalan, keluar dari mobil dan hendak berteduh di kios itu. Ketika keluar mobil, dan setengah berlari menuju kios tersebut, kami sempat terpapar guguran lumpur vulkanik, yang sepertinya semakin mereda. Saat itu, untuk pertama kali aku tahu dan mencicipi aroma abu vulkanik. Aromanya berasa gas belerang.

Rupanya sang empunya kios hendak mengungsi. Mereka sibuk membereskan dagangannya. Kios itu segera di tutup, hingga kami berteduh di luar kios. Untuk beberapa saat kami merasa aman. Kemudian datang dan berteduh juga seorang wanita muda pengendara sepeda motor Suzuki. Sepeda motornya tidak berbeda denga kondisi mobil kami yang diselimuti abu vulkanik basah alias lumpur Merapi. Jas hujan yang telah dia kenakan tak beda kondisinya, penuh dengan lumuran jenang tanah.


Dari pengedara Suzuki Shogun itu, kami mendengar berita bahwa Merapi telah ‘njebluk’ beberapa kali sejak sekitar jam 18:oo WIB. Waktu itu jarum jam tangan kami menunjuk angka 18:20 WIB.


Beberapa menit kemudian, hujan abu terlihat semakin mereda. Ada melintas iring-iringan kendaraan yang lebih besar. Sebuah ambulan yang merupakan bagian dari Tim Evakuasi Bencana Merapi, dan truk PLN yang mengangkut pembangkit listrik mobile, yang barang kali sedang menuju lokasi pengungsian. Kami putuskan untuk segera membersihkan kaca depan mobil dengan sisa air minum kemasan, dan perjalanan kami teruskan. Kami berusaha mengejar dan membuntuti iring-iringan kendaraan itu. Dengan harapan kami akan terbantu dalam mengendalikan laju mobil kami, mengingat guguran debu terus terjadi.


Akhirnya, kami berhasil semakin menjauhi kawasan Barat Daya lereng Merapi. Setelah masuk ke jalan besar Magelang-Yogyakarta, kesibukan aktivitas pengungsi juga kerap kami temui. Sebentar kemudia, kami putuskan untuk berhenti lagi di sebuah toko klontong, guna membeli air minum kemasan lagi, kali ini untuk kembali menyeka kaca depan Avansa kami.


Alkhamdulillah, perjalanan kami semakin lancar setelah semakin jauh meninggalkan daerah Muntilan, Magelang. Celuler Pak Titok beberapa kali teriak, tanda pesan pendek terus berdatangan. Hampir seluruhnya menanyakan perihal situasi Jogja saat itu. Beberapa temannya juga menelpon.


Kira-kira 15 menit kemudian kami sudah sampai di Jogja kembali. Kami sempatkan untuk berhenti sejenak, kembali membersihkan kaca depan dan lampu penerangan utama mobil kami, yang sedari tadi ternyata terlupakan. “Pantesan, jalan terasa gelap ketika mobil kita sendirian melaju di jalanan,” Pak Titok berseloroh sambil tersenyum lega. Kami telah selamat sampai Jogja. Once more, thank you very much indeed, My God.


*Lendut Gembel, plesetan dari Wedhus Gembel. Wedhus Gembel adalah sebutan paling populer untuk awan panas vulkanik Gunung Merapi yang sangat mematikan dan telah merenggut begitu banyak korban jiwa selama ini.

Kamis, 07 Oktober 2010

Global Warming dan Ancaman Kesehatan

Sudah sejak sekitar tiga puluh tahun yang lalu, beberapa ilmuwan mulai memperingatkan ancaman “paling serius” setelah perang dingin (Cold War), yakni global warming. Kini gejalanya semakin kentara dan mudah diindra dimana-mana. Perubahan cuaca dan situasi lautan, pergeseran ekosistem, serta degradasi lingkungan berakibat buruk pada kehidupan di muka bumi—menyulitkan manusia dan banyak mahkluk lain.

Para ahli terus menggelar riset untuk lebih jauh mempelajari dan mencari jalan keluar persoalan super gawat tersebut. Kesimpulannya tunggal, global warming dan climate change benar terjadi serta efek dasyatnya tinggal menunggu waktu. Bahkan sudah ada angka resmi yang membeberkan bukti otentik adanya peningkatan suhu permukaan bumi. Faktanya, paling tidak suhu bumi secara keseluruhan telah naik sebesar 0,6º Celsius (ºC) atau sepadan dengan 0,9º Fahrenheit (ºF), bila dibandingkan dengan kondisi bumi satu abad yang lalu (Suara Merdeka, 20/8/2010).

David Brown, seorang staf penulis media Washington Post yang punya perhatian khusus pada isu-isu pemanasan global, menandaskan bahwa phenomena yang terjadi akan berbeda-beda. Perubahan yang terjadi akan bergantung “di wilayah mana kita berada”. Situasinya bisa lebih panas, lebih basah, lebih kering, lebih berangin, lebih hening, lebih kotor, lebih banyak kelaparan, lebih banyak penyakit, atau lebih suram bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bahkan di daerah-daerah tertentu bisa jadi akan sangat mematikan. Dia menegaskan bahwa efek perubahan iklim sangat beragam dan acap kali bertolak belakang. Secara umum perubahannya akan mendatangkan ketidakstabilan dan kejadian-kejadian extreme. Garis-besarnya, climate change cenderung mengancam kesehatan ketimbang memberi kontribusi pada perbaikan kesehatan manusia.

Pendapat Brown (2007) menguatkan kata-kata Jonathan A. Patz, seorang dokter dan epidemiologis dari Universitas Wisconsin di Madison, bahwa “Cimate change affects everything”. Segalanya akan kena imbas perubahan iklim global. Belahan bumi tertentu akan menjadi lebih basah karena lebih sering terpapar curah hujan, sedangkan tempat lain menjadi lebih kering karena semakin jarang mendapat jatah air dari langit. Badai, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan bencana alam lain lebih sering terjadi, dan kerap kali melanda tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah mengalami bencana serupa. Nah, kondisi yang demikian akan sangat rentan mendatangkan berbagai macam gangguan kesehatan, tidak hanya serangan penyakit infeksi (infectious diseases), tapi juga gangguan jiwa akibat depressi yang bertubi-tubi.

Kenaikan suhu atmosfir bumi yang rata-rata hampir 1º F tersebut, menurut World Health Organization (WHO), hingga tahun 2000 telah menyebabkan sekitar 160.000 korban jiwa setiap tahunnya. Pada tahun 2020, WHO memperkirakan angka tersebut akan berlipat menjadi 300.000 per tahun.

Para ilmuwan juga meramalkan bahwa global warming turut meningkatkan frekwensi bencana gelombang panas (heat waves), yang pada tahun 2003 lalu telah mencelakai sebagian masyarakat Eropa. Tidak kurang, 30.000 orang meninggal karena penyakit yang ada kaitan langsung dengan gelombang panas. Di Perancis saja, hanya dalam tiga minggu (di bulan Agustus 2003), badai udara panas tersebut telah merenggut paling tidak 14.800 jiwa.

Fakta temuan WHO yang lebih mengkawatirkan lagi adalah, bahwa sepanjang tahun 1976-2008, ada paling tidak 30 penyakit-penyakit baru yang muncul akibat global warming dan climate change. Diantara penyakit tersebut, yang bisa dibilang paling menonjol dan dinilai cenderung lebih ganas adalah penyakit demam berdarah, malaria, demam kuning, kolera, diare, dan virus ebola, yang sangat mematikan dan telah menelan banyak korban jiwa (KOMPAS, 15/11/2008). Hal tersebut ada kaitannya dengan semakin bertambahnya wilayah-wiyalah yang memiliki suhu lebih hangat dan lembab (tropical), sehingga serangga dan binatang lain penyebar penyakit seperti nyamuk, lalat, siput, dan tikus bisa berkembang biak lebih cepat dengan sebaran yang lebih luas.

Hasil studi-studi yang lain, mengetengahkan kesimpulan yang serupa bahwa naiknya kehanggatan suhu bumi berbanding lurus dengan prevalensi kejadian gangguan kesehatan lain, diantaranya, serangan stroke, gangguan berbagai penyakit kulit, gangguan pencernaan, bermacam demam, radang otak, japanese encephalitis, filariasis, deman berdarah dengan gejala ginjal, flu burung, SARS, leptospirosis, dll. (Koran Tempo, 17/12/2007).

Gangguan kesehatan yang dimaksud, ternyata tidak hanya akibat dari muncul-dan-berkembangnya berbagai penyakit infeksi saja. Perubahan cuaca yang membawa pada meningkatnya kejadian bencana di wilayah tertentu, ditambah pencemaran lingkungan yang parah, terutama pencemaran logam berat, telah mendatangkan berbagai gangguan kesehatan yang sangat mematikan, seperti munculnya bermacam-macam kanker, terjadinya kerusakan organ-organ vital, alzheimer, deformasi sedari lahir pada bayi baik fisik maupun mental, dst.

Patterson Clark (Washington Post, 2004) menggambarkan bahwa degradasi lingkungan, merosotnya kualitas air, udara, dan tanah akibat dari pencemaran (polutan) telah melahirkan berbagai penyakit dan turut memperparah problem kesehatan masyarakat. Buruknya kualitas air akan berujung pada meningkatnya kejadian wabah kolera, hepatitis A, leptospirosis, cryptosporidosis, dinoflagellatered tides”, juga keracunan ikan dan kerang akibat kontaminasi bakteri vibrio dan salmonella. Polusi udara akan berdampak pada meningkatnya serangan asma, alergi dan coccidiodomycosis, serangan jantung dan paru-paru kronis. Laporan WHO menyebutkan, paling tidak terjadi tiga juta kematian di seluruh dunia setiap tahunnya akibat pencemaran udara. Angka tersebut, terbilang “tiga kali lipat” dibandingkan dengan jumlah korban tewas akibat kecelakaan pada alat transportasi.[1] Kemerosotan lingkungan juga mendatangkan penyakit lain yang ditularkan oleh serangga, seperti hantavirus pulmonary syndrom, viral encephalitis, Rift Valley fever, schistosominiasis, scabies, lyme, dll.

Yang lebih buruk lagi, karena keterbatasan resources dan buruknya kualitas pelayanan publik, masyarakat miskin di negara-negara berkembang seperti Indonesia akan menderita terpaan paling mengenaskan akibat bencana ekologis tersebut. Sedangkan kelompok yang paling tidak diuntungkan (vulnerable groups) adalah anak-anak dan balita. Seperti yang pernah disoroti dalam laporan WHO (1997), bahwa 80% dari sekitar 3 juta korban meninggal akibat malaria adalah balita dan anak-anak. Demikian juga para lanjut usia, orang yang sedang sakit, dan orang yang miskin, menjadi kelompok-kelompok lain yang sangat rentan.

Menilik contoh situasi yang ada di Indonesia, data yang dilansir oleh Yayasan Pelangi Indonesia, di Pulau Jawa dan Bali juga mengalami peningkatan hampir tiga kali lipat kasus kejadian malaria. Dari 18 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 1998, berlipat menjadi 48 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2000. Sedangkan di luar Pulau Jawa dan Bali, kasus penyakit serupa juga meningkat hingga 60% pada periode yang sama. Tercatat, kasus paling masif terjadi di NTT, yakni 16.290 kasus per 100.000 penduduk.

Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang digelar tahun 1995, menyibak fakta bahwa sekitar 15 juta penduduk Indonesia terjangkiti malaria, dan 30.000 diantaranya tidak terselamatkan (WHO, 1996). Jika upaya untuk mengatasi climate change tidak berhasil, prediksi para ahli mengatakan bahwa Indonesia akan terus didera peningkatan kasus penyakit malaria dan demam berdarah. Untuk demam berdarah diperkirakan akan meningkat hingga empat kali lipat pada periode yang sama, dari 6 kasus per 100.000 penduduk menjadi 26 kasus.[2]

Kemudian penanganan yang bagaimanakah sebaiknya? Karena skalanya global, cara yang paling tepat untuk mengatasi persoalan tersebut adalah melalui kerjasama internasional. Tentu saja, dibawah bendera PBB dan organisasi kemanusiaan transnasional lainnya, gerakan dan upaya untuk mengatasi persoalan tersebut akan lebih efektif dijalankan.

Mengingat sedikit banyak telah bisa dipetakan efek destruktifnya, perencanaan yang matang dan kesiap-siagaan atau tanggap darurat (preparedness) pada level masing-masing negara, dalam hal ini mencakup persoalan kelembagaan, logistik termasuk shelters, dan juga obat-obatan menjadi penting untuk dipersiapkan sejak dini. Sehingga upaya untuk mengurangi resiko dan meringankan dampaknya menjadi bisa bekerja dengan baik. Terutama, negara harus bisa memastikan penghematan resources yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang kian terbatas, seperti air bersih dan lahan pertanian produktif.

Namun demikian, mencermati apa yang pernah dikatakan oleh Kristie L. Ebi,[3] seorang epidemiologis dari Amerika, bahwa “The impacts of climate change really depend on your local context,”dengan demikian negara harus segera mempersiapkan stakeholders yang ada di daerah dan level komunitas, membekalinya dengan desain dan cara pengembangan metode beradaptasi terhadap perubahan yang bakal terjadi. Selain itu, pengawasan terhadap perkembangan penyakit-penyakit infeksi mutlak dilakukan, sehingga bisa dengan mudah merencanakan dan mempersiapkan langkah-langkah antisipasi. Harapanya, tingkat kerentanan (vulnerability) bisa dikurangi sekaligus ketahan (resilience) mereka bisa terdongkrak.

Selain itu, kalau dirunut lebih jauh, persoalan kesehatan merupakan problem “hilir” dari global warming dan climate change, sedangkan kerumitan di “hulu” telah mendera lebih dulu pada bidang-bidang lainnya. Dengan begitu, peran kesadaran publik yang bisa membawa pada perubahan perilaku individual untuk melakukan upaya-upaya pencegahan menjadi sangat esensial. Untuk itu tips populer yang sering beredar dalam wacana para pecinta lingkungan dan penganut green-life-style, yakni Tiga MMulai dari diri sendiri, Mulai dari hal-hal kecil, dan Mulai dari sekarang—menjadi sangat relevan, visoner, dan menjanjikan perubahan nyata bila telah menjadi komitmen hidup lebih banyak orang. Semuanya selalu bergantung pada kita semua, pada akhirnya. Bukankah masing-masing dari kita punya andil pada terjadinya global warming?



[1] USDA, Production, Supply and Distribution, electronic database , at www.fasusda.gov/psdonline, updated 12 July 2007.

[2] PORTAL CBN, Cyberhealth, SENIOR, Gaya Hidup Sehat, http://cybermed.cbn.net.id.

[3] Kristie L. Ebi is Executive Director of the Technical Support Unit for Working Group II (Impacts, Adaptation, and Vulnerability) of the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Prior to this position, she was an independent consultant. She has been conducting research on the impacts of and adaptation to climate change for more than a dozen years, including on extreme events, thermal stress, foodborne safety and security, and vectorborne diseases. She has worked with the World Health Organization, the United Nations Development Programme, USAID, and others on implementing adaptation measures in low-income countries. She facilitated adaptation assessments for the health sector for the states of Maryland and Alaska. She was a lead author on the “Human Health” chapter of the IPCC Fourth Assessment Report, and the “Human Health” chapter for the U.S. Synthesis and Assessment Product “Analyses of the Effects of Global Change on Human Health and Welfare and Human Systems.” She has edited fours books on aspects of climate change and has more than 80 publications. Dr. Ebi’s scientific training includes an M.S. in toxicology and a Ph.D. and a Masters of Public Health in epidemiology, and two years of postgraduate research at the London School of Hygiene and Tropical Medicine.