Minggu, 17 Januari 2010

Kalau Begitu, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Kini musim hujan telah tiba. Tentu saja, banyak pihak yang merasa lega, karena kebutuhannya akan air semakin terpenuhi. Terutama para petani dan peternak yang memanfaatkan air sebagai penopang utama usahanya. Namun demikian, ada sebagian kelompok masyarakat yang justeru semakin was-was. Terutama mereka yang ‘langganan’ disamperi banjir ketika musim basah tersebut datang.

Mereka yang sering didera banjir tentunya sudah belajar dari pengalaman sebelumnya dan berusaha mempersiapkan diri untuk menghadapi persoalan musiman tersebut. Terutama pemerintah setempat, melalui institusi terkait, semestinya sudah siap siaga dan melakukan langkah yang diperlukan, jauh-jauh hari sebelum musim ‘becek’ datang kembali.

Kenyataanya, tidak seperti yang kita asumsikan. Perilaku masyarakat kita tidak banyak berubah. Celakanya, pemerintah juga tidak (belum) melakukan tindakan mitigasi dan pencegahan yang berarti. Tetap saja banjir datang dan datang lagi seiring semakin tingginya curah hujan. Bahkan kecenderungannya semakin besar dan buruk dampaknya. Apa yang salah dengan masyarakat kita, sehingga mereka tidak cepat belajar dan mampu mengatasi persoalan yang sudah jelas kapan datang dan apa sebabnya?

Seperti para pembaca juga sering lihat, diman-mana sering terlihat sampah berserakan dan menumpuh, bahkan terkadang menyumbat drainase umum. Baik sampah organik maupun unorganik. Terutama di tempat-tempat yang agak jauh dari pemukiman, seperti di tepi-tepi jalan dan selokan di persawahan. Namun demikian situasi yang hampir serupa juga mudah ditemukan di tempat-tempat yang notabene dekat pemukiman akan tetapi tidak atau kurang terlihat oleh pandangan mata umum, seperti halaman belakang rumah, sungai dan selokan di pemukiman. Kok begitu? Sepertinya masyarakat kita memang belum sepernuhnya civilized, dan mungkin memang belum punya kesadaran yang memadahi sehingga bisa berubah perilakunya, terutama dalam memperlakukan sampah-sampahnya dengan benar.

Berikut penulis akan berbagi beberapa pengalaman yang ‘janggal’ dan tak terlupakan. Kisah-kisah tersebut mungkin akan membuat pembaca geleng-geleng kepala setelah membacanya.

Suatu kali penulis berhenti, ketika lampu merah menyala di perempatan Selokan Mataran, Yogyakarta. Di depan sebelah kanan penulis berhenti juga sebuah sedan mewan warna hitam mengkilat, seperti keluaran terbaru, yang dikendarai sekelompok remaja belasan tahun. Mendadak kaca jendela kiri depan sendan tersebut perlahan turun dan terbuka setengah bagian, seketika dentuman musik hip-hop menyeruak keluar menerpa semua telinga pengguna jalan yang sedang berhenti menunggu munculnya nyala lampu hijau di perempatan dekat kampun UGM tersebut. Kemudia sebuah adegan menjengkelkan terjadi. Dari dalam kabin depan sedan tersebut, menjulur pendek sebuah tangan yang mengepal kemudian ‘byak’ terbuka cepat jari-jemarinya, dan terlemparlah segengam sampah dari dalam mobil tersebut. Sungguh menjengkelkan! Saya hanya bisa menggelengkan kepala, sementara sebagian pengguna jalan yang lain terlihat hanya menampakkan expresi wajah masam, seperti sedang kecewa.

Pernah juga suatu sore ketika sedang jogging di sebuah jalan di tengah persawahan, secara kebetulan penulis memergoki seorang ibu-ibu mendadak menghentikan motornya, turun, dan melemparkan sesuatu yang besar ke selokan, yang kering kerotang. Begitu saja, kemudian pergi ngacir dan hilang ditelan tikungan sebuah perumahan baru dekat persawahan tersebut. Karena penasaran, penulis mencoba melongok ke selokan dangkal tampa air tersebut. Dan betapa terkejutnya ketika penulis melihat sebuah buntalan plastik besar transparan berisi bekas pembalut wanita. Banyak sekali, mungkin bisa lusinan. Betapa sangat memprihatinkan! Siapapun yang melihat adegan tersebut pasti tak kuasa menahan amarah, dan langsung mengeluarkan kata-kata hujatan. Kok bisa hal seperti itu dilakukan oleh seorang ibu, yang tinggal di perumahan, naik sepeda motor, dan kelihatan seperti orang sekolahan.

Bulan Agustus 2009, ketika penulis baru saja pindah kontrakan ke tempat yang baru, di sebuah pedukuhan di Kecamatan Ngaglik, Sleman. Penulis menyempatkan diri melihat-lihat lingkungan baru tersebut. Mengamati kondisi rumah-rumah penduduk yang kelihatan makmur dan terbilang lebih mapan dibanding kampung-kampung sekitarnya. Ternyata mereka tergolong bagus dalam menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumahnya. Jalan-jalan dan pekarangan rumah terlihat bersih dari sampah. Mereka terlihat begitu kompak ketika melakukan kerjabakti secara berkala. Sehingga lingkungan mereka kelihatan lebih menarik dan asri. Akan tetapi, masih ada hal-hal yang kurang tepat mereka lakukan. Mereka masih melakukan pembakaran sampah, yakni sampah kering seperti plastik, kertas, ranting dan dedaunan yang ada di sekitar rumah mereka. Mereka masih membiarkan warga lainya yang sudah terbiasa membuang sampah di sungai, shingga sunggai yang kebetulan ada di bagian belakang kampung mereka terlihat kotor penuh dengan sampah, baik sampah organik maupun unorganik. Ada pakaian bekas, pecahan kaca, potongan kayu, kaleng-kaleng bekas kemasan makanan maupun plastik-palstik beraneka macam.

Kemudian, mengapa phenomena tersebut bisa terjadi? Apa yang bisa kita lakukan untuk menjawab persoalan tersebut? Mari kita pikirkan bersama solusinya para pembaca budiman...!

Senin, 11 Januari 2010

Pak Paiman, Petani Utun yang ‘Green’


“Apa yang ada di depan saya, itu guru besar saya”, demikian Pak Paiman (70) mengawali kisah pergulatannya sebagai petani ‘utun’ (tulen) yang berpandangan maju. Dia telah merintis berdiri dan bekerjanya Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) di lereng Barat Gunung Lawu. Tepatnya di Desa Pereng, Kecamatan Mojogedang, Karang Anyar, Jateng, Pak Paiman mengoragisir kelompoknya, Rukun Makaryo, memimpin P3A sebagai lembaga yang turut menopang keberlangsungan usaha tani mereka.

Jebolan Sekolah Rakyat (SR) kelas-6 ini telah menggeluti dunia pertanian sejak 1950. Belajar secara otodidak soal tanah, pertanian dan tanaman, dengan cara ‘niteni’ apa yang dilihat dan dikerjakan sehari-hari, Pak Paiman telah menjadi teladan dan mampu meggerakkan komunitasnya untuk mandiri, mengatasi berbagai persoalan yang diahapi, meskipun pada awalnya sempat dicemooh banyak orang karena terobosannya dianggap ngoyo woro.

Tahun 1997, P3A Dharma Tirta “Sumber Mulyo” dibentuk, guna mengatur distribusi air sungai yang mengalir melintasi sebagian kawasan Karang Anyar untuk menjamin lancarnya pengairan lahan pertanian beberapa desa di Mojogedang. Organisinya terbilang sukses, dan pernah meraih juara I lomba P3A tingkat propinsi Jateng tahun 2008.

Inisiatif utuk memajukan komunitasnya terus dilakukan. Pada tahun 2005, sebuah koperasi kelompok tani “KKT-Tani Makaryo” mereka dirikan. Harapanya, organisasi ekonomi sosial tersebut bisa mengatasi keterbatasan petani akan permodalan dan menjamin pemasaran produk pertaniannya.

Pak Paiman juga terbukti cerdik dalam memanfaatkan potensi komunitasnya, beliau berhasil memanfaatkan modal social ‘gotong-royong’ untuk menggerakkan para petani guna mengatasi persoalan yang sedang dihadapi.Suwe mijet wohing mranti. Itu mudah sekali, asalkan mau bergotong-royong, semua bisa diselesaikan bersama,” pukasnya ketika ditanya bagaimana cara mengatasi persoalan yang dihadapi. Misalnya, membangun saluran irigasi yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah.

Ketika ditanya perihal sumber keuangan organisasi, Uang Kas-nya ya tenaga kerja sekitar 500 orang itu,” tegas Pak Paiman. Sedangkan untuk mencukupi kebutuhan opersional kantor KT, yang telah menyita setengah dari luas rumah-nya sendiri, beliau cukupi sendiri. Termasuk biaya penerbitan dua judul buku karya monumentalnya, dan brosur-brosur tentang aktivitas organisasinya, juga dari merogoh koceknya sendiri. Produk ilmiah tersebut, akhirnya juga habis dibagikan gratis kepada berbagai pihak yang kebetulan telah bertemu dengan beliau. Menurutnya secara total bukunya sudah terdistribusi paling tidak 5.500 eksemplar.

Kerusakan lingkungan akibat aplikasi pupuk kimia dan obat pertanian juga tak luput dari perhatiannya. Mulai tahun 2006 beliau mengajak teman-temannya beralih ke sistem pertanian organik. Menolak penggunaan pestisida dan herbisida kimia. Menciptakan pestisida dan fungisida nabati (organik), juga menggunakan pupuk kandang dan kompos untuk menggantikan pupuk kimia. Beras organik pun berhasil mereka produksi, dikemas dengan label khusus, dan dipasarkan dengan harga yang terjangkau.

Pak Paiman juga telah menularkan inovasinya kepada kelompok tani lain. Pelatihan-pelatihan bidang pertanian telah ditawarkan dan digelar. Sertifikat tanda lulus juga diberikan kepada setiap peserta. Itulah kenapa, beliau semakin populer, semakin sering diundang banyak kalangan untuk menjadi pembicara, di universitas dan pergutuan tinggi, serta pertemuan-pertemuan yang mengulas masalah pertanian, di berbagai wilayah Indonesia. “Hanya ke Papua, saya belum pernah diundang,” kisahnya dengan senyum penuh kerendahan hati.

Semangat kemandirian yang dikibarkan Pak Paiman dan kelompoknya telah berhasil menjawab kegagalan pemerintah dalam meningkatkan kehidupan petani kecil.

Kamis, 07 Januari 2010

Mitigasi Sekaligus Konservasi Vegetasi

Kini musim angin ribut datang kembali. Angin kencang yang dalam istilah lokal disebut lessus atau putting beliung, mulai sering melanda beberapa wilayah di Indonesia. Beberapa contoh terkini adalah yang terjadi pada hari Selasa 5 Januari 2010, di Ds. Jomblang, Kec. Takeran, Madiun; Ds. Kerang, Magetan; Ds. Manisrejo, Taman, Kota Madiun, Jawa Timur; dan beberpa desa di Kecamatan Sambong, Blora, Jawa Tengah. Angin musiman tersebut telah menyebabkan puluhan rumah rusak dan banyak pohon besar yang tumbang. Beberap orang juga telah mengalami luka ringan akibat terjangan angin yang membabi buta tersebut (Kompas, 6/1/2010).

Beberapa surat kabar harian nasional terbitan Kamis 7/1/2010 juga menampilkan headlines perihal amukan puting beliung yang menyapu sebagian pulau Jawa dan Bali. Ini semakin menegaskan pentingnya tindakan antisipasi untuk kepentingan mitigasi guna meringankan dampak kerusakan, mengurangi kerugian material, dan mencegah jatuhnya korban jiwa. Salah satunya dengan mengadakan pemangkasan beberapa pohon besar yang ada di dekat pemukiman penduduk. Terutama yang ada di pinggir jalan-jalan besar daerah pemukiman yang padat penduduk seperti di pusat busines perkotaan.

Pemangkasan, bukan penebangan total. Sehingga tidak menghilangkan atau merusak vegetasi yang telah berumur puluhan tahun dan memang sangat diperlukan keberadaannya untuk menopang produksi oksigen dan menyerap polutan udara yang semakin mengusik kenyamanan kehidupan perkotaan dan menggigit kondisi kesehatan masyarakat kebanyakan. Dengan hanya dipangkas, harapannya, vegetasi utamanya tetap hidup sehingga dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama pohon-pohon tersebut akan bersemi dan berkembang kembali memberikan penlindungan kepada masyarakat secara ekologi dan kenyamanan dalam kehidupan sehari-hari.

Tujuan utama pemangkasan adalah untuk mengurangi resiko tumbang dan menimpa bangunan serta menimbulkan kerugian materi dan jiwa penduduk di sekitarnya. Untuk itu perlu pula menghimbau masyarakat untuk selalu waspada, dan memangkas sendiri cabang-cabang pohon besar yang ada di lahannya. Harapannya mereka tetap merawatnya agar populasi vegetasi di lingkungannya tidak berkurang secara signifikan, tatapi justeru ditambah dan dikembangkan demi meningkatkan kwalitas udara dan konservasi lingkungan.

Badan Lingkungan Hidup (BLH) masing-masing daerah harus melakukan pemantauan dan bila perlu pamangkasan terhadap pohon-pohon besar yang ada di ruang publik, di tepi jalan, dekat pasar, pertokoan, pusat-pusat konsentrasi masyarakat, dsb. sehingga bisa mengurangi resiko-resiko yang tidak kita harapkan. Pengetahuan mereka akan konservasi lingkungan dan vegatasi menjadi prasarat untuk menjamin terpeliharanya pohon-pohon tersebut sebagai bagian dari paru-paru kota yang akan menjamin tersediannya supply oksigen untuk daerah masing-masing.

Perlu juga ditumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya penanaman pohon baru di pekarangan masing-masing guna meningkatkan populasi vegetasi yang ada di masing-masing wilayah. Sehingga terjadi konservasi mandiri secara masal yang dilakukan dan dikelola oleh masyarakat sendiri. Masyarakat perlu ditingkatkan pengetahuan dan kesadarannya tentang bagaimana mengurangi resiko bila lessus tersebut terjadi, sekaligus didorong dan difasilitasi (dengan menyediakan bibit gratis misalnya) untuk ambil bagian dalam gerakan masal meningkatkan kwalitas udara dan lingkungan hidup dengan penghijauan yang dimulai sejak dini dan dari masing-masing keluarga. Karena keberadaan vegetasi di permukiman pada ketinggian dan jarak tertentu justeru bisa melindungi mereka dari terpaan angin ribut. Sehingga program bersama untuk melakukan konservasi lingkungan hidup bisa dilakukan secara masal, serentak, dan efektif. Perlu diyakinkan pada mereka bahwa gerakan tersebut untuk dirinya sendiri dan lingkungan, yang pada akhirnya untuk seluruh masyarakat dan kelestarian planet bumi.

PLH juga harus siap sedia dan memberikan bantuannya bila masyarakat ingin dibantu dalam memangkas vegetasi yang ada di lahan pekarangannya, sehingga terjadi kerjasama yang sinergis. Mengingat tidak semua masyarakat bisa menangani persoalan seperti itu, selain tidak memiliki alat berat yang bisa memudahkan proses pemangkasan, mereka juga sering kesulitan dalam mengatur pemankasan, karena keterbatasan pegetahuan mereka. Terutama untuk bagian yang kebetulan dekat dengan jaringan listrik dan instalasi kable telepon. Juga untuk keluarga-keluarga yang sudah manula dan janda yang secara fisik mengalami keterbatasan untuk melakukan sendiri pemangkasan. Mengingat urgensi tindakan yang diperlukan.

Senin, 04 Januari 2010

Kisah Lokal Degradasi Lingkungan

Terekam dengan baik di benak pemulis, masa kecil tinggal di desa. Adalah Desa Gunungsari, Kecamanatan Nglames, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Sekitar tahun 1977 hingga 1985, dimana-mana mudah ditemukan pohon-pohon besar menjulang tinggi nan rimbun mengayomi. Ada pohon trembesi, dadap, jati, juwar, asem, randu, tekik, kelapa, rumpun bambu, dan masih banyak lagi jenis vegetasi lokal yang cenderung meninggi membelah angkasa. Juga kubangan air jernih yang hanpir ada sepanjang tahun, tanda keseimbangan alam yang masih terjaga. Di mana ada air disitu selalu ditemukan ikan dan binatang air lain. Begitu banyak ikan, sehingga sangat mudah ditangkap, dibawa pulang untuk lauk-pauk.


Setiap musim panen padi tiba, anak-anak selalu menyambutnya dengan gembira, karena setelah padi selesai dipanen, dibabat batangnya, anak-anak bisa bermain sambil mencari ikan dan burung di persawahan. Di setiap kubangan yang terpencar di persawahan tersebut ikan mudah ditemukan, dan menjadi bahan rebutan bagi anak-anak. Selain ikan, terutama ketika panen menjelang berakhir, anak-anak bisa berburu burung sawah yang terkonsentrasi pada sisa terakhir tanaman padi yang belum dipanen. Biasanya ada burung itik-itikan, tikusan, suri bombok, gemak, bubud, dan cenggeran. Ada beberapa jenis dari mereka yang tidak bisa terbang jauh. Mereka hanya bisa lari dan terbang ‘empreh’ atau rendah dengan jarak tempuh beberapa puluh meter saja, selebihnya lari cepat ke sela-sela rumput dan sisa bekas padi yang telah dipanen. Sehingga mudah dikejar dan ditangkap anak-anak. Nah, karena padi sudah tinggal sedikit burung-burung tersebut menjadi sasaran perburuan anak-anak.


Situasi tak kalah eksotis juga terekam ketika penulis berkunjung di rumah nenek. Beliau masih memelihara kerbau beberapa pasang, yang dibuatkan kandang terbuka dari bambu di bagian belakang rumah. Burung pemburu serangga seperti burung sikatan, jalak udet dan uren masih sering terlihat berkeliaran, sesekali menyambar sambil berkicau, dan bertengger di punggung kerbau untuk berburu kutu, lalat dan pethak (sejenis lalat besar penghisab darah ternak) yang menjadi parasit pada tubuh ternak. Bahkan ketika hari sehabis hujan, di tanah kosong sekitar kandang ternak, banyak sekali cacing keluar dari tanah, dan burung-burung jalak, dengkek urang dan jenis lain pada turun ke tanah untuk berburu cacing yang keluar dari tanah, karena tergenangi air hujan.


Saat ini situasi alamiah yang eksotis itu sangat mustahil ditemukan kembali. Jangankan aktivitas burung yang tergambar di atas, yang kelihatan begitu akrab dengan kehidupan orang desa, kelebatan bayangan dan kicauannya sepertinya sudah sangat langka terdengar. Semua seperti sudah pergi entah kemana, barang kali telah punah.


Dulu ketika penulis mengikuti orang-tua mengantarkan makan siang untuk orang yang dipekerjakan membajak sawah, penulis gembira sekali melihat burung-burung sawah yang tergolong besar-besar, seperti bangau thong-thong, blekok hitam dan putih, cangak ulo, kuntul pendek, juga jalak-jalakan, yang ramai-ramai mengerubuti penggalan tanah yang telah menyibak terbajak di belakang tukang bajak. Burung-burung tersebut saling berebut cacing dan belut atau ikan kecil yang turut tersibak bersama tanah yang telah diluku—diolah dengan bajak. Sungguh sebuah pemandangan yang elok, tapi lumrah terlihat pada setiap musim pengolahan lahan persawahan basah saat itu.


Ketika masih duduk di bangku sekolah dasar dan lanjutan, setelah belajar malam, sekitar jam 20:30, penulis sering mengikuti ayah atau kakaknya pergi ke sawah untuk menyuluh, mencari binatang sawah dengan penerangan lampu petromak. Manakala tanaman padi mulai selesai dipanen, air yang ada di persawahan mulai surut, tinggal beberapa senti saja dari dasar sawah, sehingga kegitan menyenangkan tersebut jadi mudah dilakukan.


Biasanya kami memburu belut, ikan, burung sawah, dan katak hijau di lahan persawahan dan selokan-selokan kecil yang ada di persawahan. Hasilnya juga selalu banyak, tidak pernah pulang dengan tangan hampa, kecuali di hari setelah hujan. Karena air sawah jadi keruh sehingga belut dan ikan tidak mudah terlihat seperti biasanya. Akan tetapi, kalau kami nekat pergi, biasaya bisa menemukan katak dan kadang-kadang beberapa jenis burung sawah. Untuk ikan, biasanya kami menyusuri jalan-jalan besar di dekat persawahan, karena sering ditemukan ikan terdampar di jalan-jalan dekat persawahan. Ikan-ikan tertentu, kalau malam hari sering melompat ke daratan utuk pindah ke bagian sawah atau empang lain. Nah pada situasi yang demikian, ikan yang sering ditemukan adalah jenis lele lokal dan ikan gabus. Mereka biasa melompat ke daratan untuk mencari lokasi perairan lain di seberang jalan. Sungguh pengalaman yang unik tak terlupakan.


Kini realitasnya telah berubah total. Sulit sekali ditemukan pepohonan rimbun menjulang tinggi mengayomi lahan subur dan genangan air di bawahnya. Vegetasi pelindung alami itu juga telah habis tergerus perkembangan perumahan. Listrik masuk desa, pohon-pohon besar di sepanjang jalan harus ditebang guna mudahnya instalasi jaringan listrik masuk.


Desa tersebut kini telah padat perumahan. Rumpun-rumpun bambu yang dulu mengelilingi desa untuk melindungi pemukiman dari terpaan angin lesus (angin ribut) kini juga telah habis tinggal beberpa rumpun saja, sangat sedikit. Kesegaran udara berubah menjadi angin kering yang panas dampak minimnya vegetasi. Kebun-kebun yang dulu selalu dikelilingi dan dipagari dengan tanaman lebat kini telah beralih menjadi sawah yang diluaskan sehingga bertanggul kecil yang tidak lagi bisa ditanami tanaman besar yang rimbun. Blumbang-blumbang (kolam air) juga tidak banyak lagi, ada yang tersisa tapi kering tanpa air. Kalau musim hujan tiba, ada airnya tapi tidak lagi ‘hidup’, terlihat hambar tanpa riak khas yang menandakan adanya ekosistem air yang sehat di dalamnya. Tidak ada lagi ikan atau belut yang bisa ditangkap. Katak hijau yang gemuk, burung cengeran, tikusan, suri bombok, gemak, dst. juga sudah tak terlihat lagi. Perubahan siknifikan telah terjadi dan menurunkan kwalitas lingkungan.


Kenyataan buruk tersebut mulai kentara ketika para petani mulai menggunakan pestisida, obat-obatan dan pupuk kimia untuk pertanian. Orang mencari ikan tidak lagi menggunakan jala dan pancing. Mereka mulai menggunakan apotas, teodan (sejenis pestisida) dan strum listrik, berburu ikan dan belut di sungai-sungai dan blumbang. Kekurangtahuan dan ketakpedulian mereka membuatnya tergoda untuk mengejar kemudahan dan cara instan. Sehingga ekosistem air menjadi teracuni dan rusak. Keberlanjuntan sumber penghidupan mereka-pun turut terkikis oleh aplikasi bahan kimia yang menghancurkan tersebut. Kini semua telah terlanjur, degradasi lingkungan telah demikian nyata, siapa yang harus bertanggunjawab dan apa yang harus dilakukan?

Sabtu, 02 Januari 2010

Halo Semua, Salam Kenal

Hallo Semua. Salam kenal dan selamat tahun baru. Ini sebuah resolusi baru saya yang saya canangkan untuk menyongsong tahun baru 2010. Semoga resolusi ini akan terjaga, sehingga cita-cita besar saya untuk bisa menulis dengan baik tercapai.

Minggu siang ini, tepatnya jam 12:07, saya mulai merintis situs baru di dunia maya yang tanpa batas ini. Ada beberapa tujuan yang ingin saya raih lewat arena baru ini, diantaranya, pertama, saya ingin belajar menulis. Seperti yang telah banyak disampaikan orang lewat tips-tips cara menulis. Salah satunya, kita harus punya wahana untuk menulis. Nah, saya memilih blog sebagai media yang semoga bisa mendorong saya untuk lebih giat belajar menulis.

Kedua, saya ingin berinteraksi dengan sesama pemberlajar lain lewat jejaring blogger ini. Dengan demikian, harapanya, saya akan mendapatkan apresiasi dari kawan-kawan lain sesama blogger. Sehingga, saya akan mendapatkan masukan atau kritik yang akan bisa mendorong dan memotivasi saya untuk terus belajar dan belajar. Karena, hanya dengan interaksi yang demikian semangat untuk terus belajar dan meningkatkan kwalitas tulisan bisa terjaga.

Ketiga, lebih spesifik lagi, saya ingin mendapatkan teman sesama blogger yang memiliki perhatian yang kurang lebih sama, sehingga saya bisa mendapatkan input-input yang konstruktif sebagai tambahan ilmu pengetahuan yang akan bisa menaikkan derajat dan kwalitas tulisan saya. Paling tidak saya bisa lebih maju dari fase sebelumnya.

To say the truth, masih banyak lagi tujuan yang ingin saya raih dari aktivitas menantang ini, tapi untuk saat yang sangat awal ini, sepertinya tak perlu saya sampaikan.

Selamat datang, ijoroyoroyo ... selamat datang di dunia baru, dunia tanpa syarat, dunia tanpa batas, dunia luar biasa, dunia blogger ...