Selasa, 15 Juni 2010

Gendu-gendu Rasa Wong Desa ala Kebumen

Irama alat musik ‘Janeng’1 mengalun merdu, bertalu menggema memecah keheningan balai pertemuan Desa Kembaran, Kec.Kebumen, Kab. Kebumen. Musik tradisional yang mulai menghilang ini menjadi pertanda akan dimulainya diskusi dengan tajuk, “Gendu-gendu Rasa Wong Desa tentang ADD, Kemiskinan, dan Bedah Flamma”2. Peserta mulai berdatangan dan mengambil tempat duduk, demikian juga rombongan kami dari IRE Yogyakarta yang datang setengah jam lebih awal dibandingkan peserta lain.

Gendu-gendu (membincangkan-red) Rasa, merupakan sesi diskusi komunitas yang diinisiasi oleh Karang Taruna Satma Kusuma Jaya yang didukung Pemerintah Desa (Pemdes) Kembaran. Dalam sambutannya, Dwi Agus Kurniawan, sang nahkoda Satma Kusuma Jaya, menyampaikan bahwa forum terbuka tersebut dimaksudkan untuk turut mendorong karang taruna agar lebih tahu dan peduli perihal ADD, menghimpun informasi pembangunan antar desa, serta menggali lessons-learned tetang pelaksanaan ADD sejauh ini. Sunaji Zamroni, peneliti dari IRE Yogyakarta, hadir sebagai pembicara untuk memaparkan perihal sejarah lahirnya ADD dan pengalaman IRE dalam mengawal pelaksanaanya ADD di berbagai daerah yang menjadi lokasi penelitian IRE.


Kegiatan yang digelar Sabtu, 12 Juni 2010 tersebut tidak hanya dihadiri warga Desa Kembaran, tetapi juga perwakilah dari desa sekitarnya, beberapa LSM lokal, dan OMS yang ada di Kebumen, serta pihak Pemerintah Daerah yang diwakili oleh Kepala Bidang (Kabid) dan Wakil Kepala Bidang (Wakabid) Bapermades (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa) Kab. Kebumen.


Pak Ghofar Ismail N, Lurah Desa Kembaran, menjelaskan bahwa acara tersebut dalam rangka mencari ilmu, mengembangkan wawasan, untuk diamalkan secara bersama-sama demi kebaikan bersama. Beliau juga memuji kemajuan cara berpikir karang-tarunanya, yang punya inisiatif, berfikir terbuka, dan peduli pada pembangunan, dalam visi bersama membangun masyarakat, baik aspek moral, material, dan spiritual. Selain itu, beliau juga menegaskan bahwa pemuda memang harus bangkit, bergerak, karena kemajuan berada di tangan pemuda, dan merekalah yang kelak akan menjadi pemimpin berikutnya.


“Kami senang dengan forum seperti ini, kami bisa mendapatkan apa-apa yang harus kami lakukan,” kata Ibu Herlina (Wakabid Bapermades) mengawali sambutannya. Selanjutnya, beliau menunjukkan beberapa dasar hukum dan mekanisme pelaksanaan ADD, diantaranya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 72/2005 tentang Desa, Permendagri No 37/2007 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Perda Kebumen No. 2/2007 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Perbup No. 31/2008 tentang ADD. Kilasan sejarah, tujuan, manfaat, dan mekanisme pelaksanaan ADD di Kab. Kebumen juga tidak lepas dari paparannya.


Sejarah pergulatan memperjuangkan lahirnya ADD di tingkat nasional, peran IRE dalam upaya tersebut, serta sekilas tentang penelitian dan pendampingan IRE terkait isu-isu ADD merupaka topik-topik persoalan yang disampaikan oleh Sunaji Zamroni. “ADD telah membuka cara pandang baru, tentang kedudukan desa di mata Kabupaten,” tukas Sunaji memaknai munculnya kebijakan ADD. “Dan Kabupaten bukanlah Sinterklas, ADD adalah hak desa dan salah satu tindak lanjut kebijakan desentralisasi,” tambah Sunaji. Temuan-temuan unik seputar pelaksanaan ADD dari riset IRE di berbagai daerah dan masukan-masukan penting untuk perbaikan tak luput dari elaborasi yang disampaikan Sunaji Zamroni. Ia juga sesekali mengajak peserta untuk membuka-buka majalah Flamma yang telah ada di tangan mereka.

Merespon pertanyaan peserta tetang adanya perangkat desa di Kebumen yang sedang menghadapi kasus hukum karena dugaan penyimpangan ADD, baik Sunaji maupun Herlina menegaskan bahwa, asalkan mengikuti aturan hukum dan prosedur yang ada, masyarakat tidak perlu khawatir dalam mengelola ADD. “Sejauh aturannya dipenuhi, saya kira tidak ada masalah,” ujar Sunaji.


Diskusi yang dipandu oleh Borni Kurniawan diakhiri dengan harapan bersama bahwa partisipasi semua pihak, transparansi, dan akuntabilitas pelaksanaan ADD akan turut memastikan adanya pembangunan yang sesuai harapan bersama.


1. Janeng dan Ebleg merupakan dua kesenian daerah yang tergolong tradisional. Dua kesenian itu sejak sekian lama telah menjadi jantung kesenian tradisional di kabupaten Kebumen. Dahulu, sekitar 1980-an, sebelum dangdut, musik pop, campursari, dan kesenian modern lain populer, musik Janeng sering dimainkan di mana-mana: di balai desa, kecamatan, pendopo kabupaten, dan di tempat orang punya hajat. (www.suaramerdeka.com).


2. Majalan Flamma yang turut dibedah dalam diskusi tersebut adalah Majalah Flamma Edisi 33, Januari-Maret 2010, dengan tajuk “Menuntaskan Target lama, Sengkarut Penanggulangan Kemiskinan”

Note: Tulisan ini juga dipublikasikan dalam http://www.ireyogya.org/id/



1 komentar:

  1. halo mas kok lama banget ngga update

    semoga transparansinya lanjut terus ya

    BalasHapus