Selasa, 30 November 2010

Meski Buta, Dia Tidak Menyerah

Sepanjang perjalanan menuju rumah Markino (43), saya tidak pernah menyangka warga yang akan ditemui adalah warga paling miskin yang ada di Desa Watuulo. Awalnya saya ceria menikmati pemandangan dan udara sejuk dalam perjalanan menuju kediaman Markino. Akan tetapi begitu tiba di rumahnya, melihat Markino yang tertidur di lantai lembab tanpa tikar, mengenakan pakaian sangat kumal, dengan tangan dan kaki masih belepotan lumpur sawah yang mengering, saya langsung nelangsa, hilang keceriaan.


Kang Kino, begitu tetangganya biasa menyapa, adalah seorang tuna netra yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani. Markino mengaku, dia tidak 100% buta, tetapi menderita rabun yang akut, sehingga penglihatannya sangat-sangat terbatas, bisa jadi tidak lebih dari 5%. Karena itu, dia lebih sering digandeng istri atau simboknya ketimbang jalan sendiri ketika pergi mendatangi sawah atau ladang milik tetangga yang akan dia bantu mengolahnya.


Keadaan Rumah Pak Kino
Saya heran dan merasa iba melihat rumah Markino begitu mungil dan terletak di seberang jalan hampir berdempetan dengan mushola Roudhotul Jannah, yang juga tidak besar. Rumah berukuran 3x5m², tanpa ventilasi dan hanya berhiaskan satu pintu depan dan belakang yang menghubungkan 1 ruangan tambahan lagi yang tidak rapat berukuran 2x2m², untuk mengamankan 5 ekor kambing piaraan yang gemuk-gemuk. Rumah mini itu juga ditambahi satu ruangan super kecil seluas 1,5x2m² di sisi kanan luar yang semakin menggantung di bibir sungai yang lumayan curam, meskipun hanya sungai kecil untuk irigasi sawah.


Rumah mini tambahan itu, ternyata untuk tempat tinggal Mbok Juminem (69), ibu kandung Kang Kino. Bilik super kecil itu, isinya memang lumayan lengkap, meskipun tidak pada tempatnya. Bayangkan, di situ ada lincak kecil yang dihiasi sedikit pakaian lusuh yang acak tidak tertata, beberapa karung kecil berisi padi tapi tidak penuh, peralatan masak, tungku, ember, sisa kayu bakar, dan pernak-pernik perlengkapan dapur yang sangat sederhana dan tidak banyak jenisnya. Karung berisi padi itu hasil Mbok Minem dari “maro”1 sawah tetangganya tapi tidak luas. Hasil maro itu jarang dikonsumsi, karena baik Mbok Minem maupun Kang Kino selalu mendapatkan jatah raskin, meskipun harus menggantinya Rp 1.700,00 per kg. Kata Pak Yono, asisten saya selama penelitian, ruang pengap itu menjadi tempat paling privat milik Mbok Minem, yang dia gunakan ketika sedang memasak, makan, tidur, juga berteduh dari angin dan hujan.


Dua rumah mini jadi satu, yang pintu depanya langsung menghantarkan penghuninya ke halaman mushola hanya dengan dua langkah kaki itu, berbagi aliran listrik dengan Mushola Roudhotul Janah. Atas inisiatifnya sendiri, Kang Kino memberikan iuran Rp 5.000,00 per bulan untuk biaya listrik, yang praktis hanya untuk menyalakan 3 bohlam penerangan ukuran watt kecil, untuk rumah utama, kandang kambing, dan bilik Simboknya.


Sudah lebih dari sebulan ini Kang Kino harus rela berpisah dengan istrinya, Tuliah (50th), yang harus merawat ayahnya karena sudah tua dan sakit-sakitan, apalagi mertuanya itu tinggal sendirian di rumahnya di Karang Talun Kecamatan Ngluwar, kira-kira 2 km dari Watuulo. Praktislah rumahnya menyisakan sedikit ruang kosong 2,5m², sehingga terasa lebih longgar dari biasanya.


Kini Kang Kino hanya tinggal bersama Mbok Minem yang juga menjadi tanggungan hidupnya. Mbok Minem, dulunya adalah seorang pekerja yang giat, namun demikian beliau tidak bisa beranjak lepas dari kemiskinan. Tidak mempunyai keahlian dan alat produksi, seperti sawah atau ladang, mungkin itulah penyebabnya. Tanah yang sekarang ditempati rumah mini anaknya, sebenarnya juga bukan miliknya, akan tetapi sisa badan jalan yang berbentuk lereng yang berbatasan langsung dengan sungai kecil yang mengairi persawahan, sekaligus tempat MCK mereka. Karena itulah, sebelum rumahnya didirikan, mereka harus menguruk lereng tersebut menjadi lebih rata.


Keseharian Markino
Sehari-hari Kang Kino menghabiskan waktu membanting tulang untuk mencari nafkah, kalau tidak bekerja di sawah atau kebun tetangganya, dia biasanya sibuk dengan ternaknya, entah mencarikan pakan atau menggembala kambingnya di tempat yang tidak jauh dari rumahnya. Namun demikian, kadang kala dia juga dimintai tolong oleh tetangganya untuk memanenkan pohon kelapa, membersihkan pekarangan, memijat, dll. Tergantung permintaan warga, selama dia bisa melakukan, pekerjaan apapapun tidak akan pernah dia tolak.


Untuk memanenkan buah kelapa, setiap pohonya biasanya dia diberi imbalan 2 buah kelapa seharga Rp 1.000,00 per bijinya. Sedangkan untuk jasa buruh di sawah atau ladang, upah yang dia terima berkisar antara Rp. 10.000,00 hingga Rp 15.000,00 per hari, bekerja mulai jam 07:00 hingga 12:00 siang. Kadang-kadang malah ada yang membayarnya lebih rendah, barang kali kualitas pekerjaannya dianggap tidak sama dengan buruh lain yang normal. Khusus untuk jasa mengurut atau pijat, Bapak yang putra tunggalnya telah tiada ini, dihonori Rp 20.000,00. Padahal, menurut pengakuannya dan juga dikuatkan oleh kesaksian Kasi Kesra Dusun Watuulo dimana Kang Kino tinggal, tidak setiap hari ada warga yang menggunakan jasanya.


Harapan Seorang Markino
Kendati demikian, Kang Kino bukan berarti orang yang tidak punya impian untuk masa depan, paling tidak dia sudah terbukti berhasil berinvestasi. Lima kambing yang ada di kandangnya, bukan bantuan dari orang lain. Awalnya dia hanya punya satu ekor cempe, hasil dari “gaduh”2 kambing milik tetangga. Kemudian anak kambing tersebut dibesarkan dan dikawinkan dengan pejantan milik tetangganya, sehingga bisa beranak berkali-kali. Dengan hasil peternakan kecil itu, Kang Kino bisa menyemen dinding dan lantai rumahnya. Selain itu, pada hari raya kurban tahun 2009 lalu, Kang Kino menjalankan ibadah korban atas nama simbok tercintanya Juminem, dengan menyerahkan kambing jantan besar senilai Rp 800.000,00.


Tidak hanya itu, Kang Kino dan Mbok Minem juga berusaha untuk selalu mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan, meskipun hanya semampunya. Contohnya, Mbok Minem tidak mau ketinggalan untuk menyediakan sejumlah nasi bungkus untuk ritual pengajian di mushola. Sekali dalam setahun, dia juga memasak jamuan khusus untuk perayaan tradisi “nyadran”.


Menyandang sebagai keluarga termiskin di Desa Watuulo, tidak membuat mereka menjauh dari kehidupan sosial kemasyarakatan dan tradisi warisan leluhurnya. Yang kerap diacungi jempol dan bisa diteladani orang lain adalah, Kang Kino dan Mbok Minem tidak pernah putus asa dan mengemis kepada orang lain. Mereka selalu bekerja keras.


Selesai mewawancarai Mbok Minem, saya mengangsurkan sejumlah uang sekedar sebagai ucapan terimakasih. Sambil bercanda, Pak Kasi Kesra yang mendampingi saya berkata, “Niku rezeki Mbok, disimpen ingkang sae. Kangge tumbas jajan nggih pareng.” Diluar dugaan kami Kang Kino menyahut, “Ditukokne pitik malah mundak.” Pak Kasi Kesra tertawa lebar, saya ikut tertawa kecil dan tak tahan menahan haru.***

1 Menyewa sawah orang lain untuk ditanami, dan hasilnya akan dibagi fifty-fifty antara yang punya sawah dengan si penyewa.

2 Gaduh adalah memelihara dan mengembangbiakan ternak orang lain, selama periode tertentu, dan akan mendapatkan imbalan berupa sebagian anak ternak hasil pengembangbiakan itu.

2 komentar:

  1. Pak Kino, bisa sebagai contoh walaupun miskin dan punya keterbatasan tubuh (cacat) tetapi tidak mau mengemis, bahkan menunjukkan tekad bekerja keras.Lebih hebat lagi masih menyisihkan pendapatannya untuk membeli kambing korban sebagai rasa kepeduliannya kepada sesama....
    Pemerintah punya kewajiban untuk mensejahterakan penduduk yang tinggal di desa-desa.

    BalasHapus
  2. Sepakat, sejauh ini negera masih minim (untuk tidak menyebut gagal) dalam usaha mensejahterakan warganya!

    BalasHapus