Rabu, 09 Februari 2011

Kesehatan, Investasi yang Harus Diperjuangkan

If the whole world adopts vegetarianism, it can change the destiny of humankind."—Albert Einstein

Kenapa saya harus menjaga kesehatan mulai dari sekarang, kenapa saya harus menjadi seorang vegetarian mulai dini, karena alasan kesehatan jangka panjang, karena merawat kesehatan merupakan bentuk investasi yang harus dimulai sejak dini.

Saya tidak ingin sakit-sakitan pada suatu saat nanti, terutama ketika usia sudah senja. Karena kalau sakit-sakitan, saya akan menjadi beban keluarga, terutama istri, anak, cucu, dan kerabat dekat lainnya. Istri harus repot-repot meluangkan waktu lebih banyak untuk merawat saya. Dia harus mengalami tekanan psikologis, harus menanggung perasaan sedih, juga terganggu tidurnya, karena harus memikirkan saya. Dia harus menggunakan tenaganya lebih banyak lagi, karena harus merawat dan menggantikan pekerjaan yang menjadi tugas pribadi saya. Dia harus merelakan resources-nya (hartanya) untuk membiayai pengobatan saya. Dia harus tidak enak makan dan tidur, teringat adanya beban melelahkan karena kondisi saya. Semuanya serba saya.

Tidak hanya istri saya, barangkali anak dan cucu saya, akan tersita sebagian waktunya, tenaganya, juga pikirannya karena harus wira-wiri menjenguk ayahandanya atau kakeknya yang harus menginap di rumah sakit atau panti kesehatan. Mereka pasti akan mengeluh, meskipun dalam hati saja, karena ketidaknyamanan itu, karena bau badan ayah/kakeknya, yang pasti semakin mengganggu ketika sedang sakit-sakitan. Keceriaan mereka pastilah akan berkurang, bahkan bisa hilang.

Sanak saudara, tetangga, dan kenalan-kenalan lain pasti juga akan terusik, meskipun tidak sebanyak dan seberat apa yang ditanggung istri, anak, dan cucu-cucu saya.

Kenyamanan hidup sepanjang sejarah kehidupan saya nanti, juga menjadi pertimbangan utama dalam misi pengendalian diri itu. Andaikan, saya bisa menjadi orang dengan kebebasan finansial yang luar biasa nanti, tetap saja, saya tidak percaya bahwa uang akan mampu membeli kenyamanan dari "hidup sehat", dan uang juga tidak akan bisa menjauhkan kita dari penyakit, bisa jadi sebaliknya, karena godaan konsumsi. Benar, kemampuan financial itu memungkinkan kita untuk mendapatkan perawatan medis atau dukun terbaik, tetapi apakah jejak-jejak luka fisik dan psikologis yang ditinggalkan oleh derita penyakit bisa tanpa bekas? Saya kira tidak.

Dengan pertimbangan-pertimbangan itulah, saya menjadi semakin termotivasi dan kekeh untuk meningkatkan gaya hidup yang sehat. Saya akan tetap rajin berolah-raga, berusaha untuk semakin perhatian dan selektif pada apa yang saya makan dan minum. Dengan terus mengamalkan gaya hidup vegetarian, paling tidak saya yakin bahwa itu adalah cara paling rasional, mudah, dan murah, di tengah semakin dasyatnya gelombang budaya konsumerisme yang "menjelomprongkan" kita, dan saya percaya kebiasaan baik itu akan menjaga kesehatan dalam jangka panjang.

Kenapa Harus "Emoh" Daging?

Menurut beberapa cerita teman sesama vegetarian dan vegan, juga menurut pendapat para ahli gizi (nutritionists) dan pakar kesehatan, yang telah menebarkan artikel-artikel kesehatan di media massa dan buku bacaan, bahwa pola diet vegetarian dan vegan, dinilai sangat handal dalam memperbaiki, meningkatkan, dan kemudian menjaga kualitas kesehatan manusia.

Menurut teori mereka, ada banyak jenis penyakit yang bisa dihindari ketika kita menganut pola diet vegetarian, diantaranya adalah aneka jenis kanker. Banyak studi yang berujung pada kesimpulan serupa bahwa konsumsi daging, terutama daging merah, meningkatkan resiko penyakit kanker, baik kanker payudara, kaker pankreas, kanker prostat, kanker kolon, dan kanker-kanker jenis lain. Hal itu dikarenakan, selain daging merah tinggi kandungan lemaknya, beberapa jenis hormon juga kerap ditambahkan oleh peternak guna mendongkrak produktivitas peternakannya, baik melalui pakan ternak instan maupun dengan cara injeksi. Padahal hormon tersebut memicu berjangkitnya sel-sel kanker ketika masuk dalam tubuh manusia. Selain itu, daging sangat tinggi kandungan proteinnya, sedangkan protein akan memecah amonia yang bersifat karsinogen. Seperti kita tahu bahwa zat karsinogen merupakan biang penyemai kanker yang paling laten.

Tidak itu saja, hasil riset juga mengungkap bahwa konsumsi daging juga turut mereduksi asupan serat, antioksidan, dan nutrisi penting lainnya. Padahal serat dan antioksidan terbukti ampuh dalam menangkal munculnya benih sel kanker. Sialnya lagi, kegemaran orang memasak daging dengan cara dibakar atau dimasak dengan suhu yang tinggi juga menyisakan residu berupa senyawa kimia karsinogen seperti polycyclic aromatic hydrocarbons dan hetercycil amines yang juga memicu penyakit kanker (KOMPAS.com, 16/01/2010). Sehingga tidak mengejutkan ketika beberapa studi yang mengkaji populasi orang Eropa di era 1990-an, menegaskan sebuah kesimpulan bahwa mereka yang sering mengkonsumsi daging lebih banyak terjangkiti kanker ketimbang mereka yang vegetarian.

Fakta-fakta yang mengkaitkan konsumsi daging dengan prevalensi berjangkitnya kanker, juga telah dibuktikan dengan riset yang lebih meyakinkan, yakni riset yang digelar di Inggris selama 12 tahun, yang melibatkan 6.000 pelaku vegetarian dan 5.000 penyantap daging. Studi itu mengungkap bahwa pelaku vegetarian yang meninggal karena kanker 40% lebih sedikit dibandingkan dengan pemakan daging, sedangkan yang meninggal karena penyakit lain juga 20% lebih sedikit (The Guardian, 07/2009).

Konsumsi daging, terutama daging merah, apalagi yang sudah diawetkan, juga berkorelasi positif dengan meningkatnya kadar lemak dan kolesterol jahat dalam darah kita, sedangkan tingginya kadar lemak dan kolesterol jahat tersebut berbanding lurus dengan berjangkitnya beberapa penyakit degeneratif, termasuk stroke, gagal jantung, kencing manis (diabetes), dan serangan ginjal, meskipun masih banyak faktor lain yang turut mempercepat munculnya penyakit degeneratif tersebut. Namun demikian, menghindari daging akan mengurangi secara signifikan resiko penyakit-penyakit fatal tersebut.

Karakter daging yang tak berserat (non fiber) sudah pasti akan menambah potensi penumpukan kalori yang berlebihan, sehingga meningkatkan resiko obesitas. Selain itu, rendahnya kadar fiber akan memicu terjadinya gangguan sembelit, yang apabila berlansung secara terus-menerus (dalam jangka panjang) akan menyebabkan penyakit wasir.

Makanan hewani juga mempertinggi prevalensi penularan penyakit-penyakit yang dibawa atau ditularkan oleh binatang, seperti sapi gila, antrax, salmonella, flu babi, flu burung, E-colie, cacing pita, dan parasit lainya. Tidak itu saja, beberapa jenis limbah pencemaran seperti logam berat dan pestisida buatan biasanya terakumulasi dalam tubuh hewan yang tersimpan aman bersama lemak dan bagian organ tertentu, sehingga menkonsumsinya sama artinya dengan memindahkan timbunan polutan ke dalam tubuh kita. Kalau sudah seperti itu, gangguan kesehatan tinggal menunggu waktu, bahkan akan mengancam jiwa.

Penyakit osteoporosis juga menjadi ancaman serius bagi meat-eaters. Hal ini dikarenakan, dalam proses pencernaannya daging akan menghasilkan zat asam tertentu, yang pada akhirnya akan bersemayam di dalam tulang, sehingga memicu pelepasan kalsium tulang. Nah, berkurangnya kalsium dalam tulang akan berdampak pada turunya massa tulang, yang pada gilirannya akan menyebabkan osteoporosis.

Bagi wanita yang vegetarian, mereka akan diuntungkan dengan tingginya konsumsi sayur dan buah-buahan, serta biji-bijian atau kacang-kacangan, termasuk kedelai, yang sangat kaya akan fito-estrogen, yaitu senyawa yang memiliki karakter layaknya hormon estrogen, yang bermanfaat untuk mencegah gangguan penyakit menjelang masa menopause, seperti emosi menjadi tidak terkendali, perasaan tidak nyaman, dan tubuh terasa sakit-sakit. Itulah kenapa, banyak yang menyebut bahwa makanan dari bahan kedelai merupakan sumber doping estrogen yang alamiah.

Longevity

Fakta yang paling istemewa tentang pola konsumsi vegetarian dan vegan adalah, bahwa mereka yang taat dengan diet “emoh” daging akan mendapatkan bonus kehidupan yang lebih panjang (longevity), dengan kualitas kesehatan prima atau panjang umur namun tetap sehat. Ini telah dibuktikan dengan banyak riset, salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari Loma Linda University USA. Berdasarkan temuan mereka, orang vegetarian akan hidup 15 tahun lebih lama dibandingkan dengan mereka yang meat-eaters (American Journal of Clinical Nutritio; September 2003).

Adanya kantong-kantong centenarian, komunitas orang yang berumur lebih dari seratus tahun, di beberapa tempat di belahan bumi, seperti di daerah Okinawa (Jepang), Sardina (Italia), dan juga Loma Linda (Califormia), yang menurut hasil penelitian, diduga karena mereka cenderung hidup vegetarian, bijak terhadap alam lingkungan, dan punya relasi horisontal dan vertikal secara baik, menambah kuatnya argumentasi tentang peran vegetarianisme dalam menjaga kesehatan di masa senja (National Geographic, November 2005).

Eventually, fakta-fakta terangkai diatas, telah menolong dan menguatkan saya untuk tetap setia pada keyakinan awal, bahwa kesehatan adalah masa depan, sangat bernilai, layaknya cita-cita atau impian yang harus terus diperjuangkan, sehingga mengupayakan kesehatan merupakan bentuk investasi, yang layak dijaga dan diperjuangkan. Saya memilih jalan vegetarian, demi memperjuangkan investasi masa depan saya.***

Jumat, 14 Januari 2011

Sejarah Singkat dan Mengapa Saya Vegetarian

Sedari dulu, terutama ketika sudah mengenyam bangku sekolah, saya lebih tertarik mata pelajaran olah-raga dan kesehatan. Karenanya, ketika bertemu dengan bahan bacaan seperti koran dan majalah, artikel atau tulisan yang bicara tentang kesehatan akan saya sambangi lebih dini. Apalagi kalau waktunya terbatas, praktis hanya jenis informasi seperti itu yang saya nikmati.

Akhir tahun 1998 saya mulai bekerja di sebuah lembaga non-profit di Yogyakarta. Di lembaga itulah saya kemudian berinteraksi dengan seorang teman kerja yang sedari kecil sudah tidak suka daging, tetapi masih toleran terhadap konsumsi bakso dan makanan olahan lain yang masih menggunakan daging sebagai bahan campuran. Sedangkan untuk menu daging murni dia sama sekali tidak bisa memakannya. Saya dan teman-teman kerja menyebutnya sebagai seorang vegetarian, namun dia sendiri mengaku bukan penganut vegetarian.

Selain dia, masih ada seorang teman lagi yang saat itu sudah vegetarian selama tujuh tahun. Akan tetapi dia sudah berhenti menjadi vegetarian, karena alasan khusus yang saat itu tidak disampaikan kepada saya. Namun, dia masih bersemangat untuk menularkan pengetahuannya tentang pilihan hidup yang selama tujuh tahun terakhir dia lakoni dengan penuh dedikasi.

Dua teman baik tersebut rupanya, telah memberikan inspirasi pada saya untuk mencari-cari informasi tentang vegetarianisme. Memang, sebelumnya pengatahuan saya tentang bahasan itu sangatlah minim. Nah, kebetulan pada saat itu lembaga kami mulai menyediakan fasilitas akses internet, meskipun masih sangat terbatas, sehingga kami harus bergantian dalam memanfaatkannya. Kesempatan yang sangat terbatas tersebut saya manfaatkan untuk terus mencari artikel-artikel tentang kesehatan dan vegetarianisme.

Pada perkembangan selajutnya, semakin banyak membaca artikel tentang kesehatan, kesadaran saya terhadap pentingnya gaya hidup sehat semakin menguat. Hingga kira-kira mulai pertengahan 1999, saya mulai mengurangi konsumsi daging, terutama jenis daging yang dianggap sangat berbahaya bagi kesehatan kita jangka panjang. Nah, sejak saat itu saya mulai emoh jenis bahan pangan hewani tertentu, seperti daging yang berwarna merah, jerohan, kulit, sumsum, otak, lemak-lemakan, kuning telur, daging yang dibakar, dst. dan cenderung memilih bahan pangan nabati seperti tahu, tempe, sayur-sayuran dan buah-buahan. Apabila terpaksa harus makan produk pangan hewani saya selalu memilih jenis ayam kampung dan ikan-ikanan sebagai pengganti lauk-pauk. Alasanya, waktu itu banyak ahli kesehatan yang menyebutkan bahwa daging ikan lebih sehat dibandingkan dengan daging lainnya, karena daging ikan dinilai lebih rendah kadar lemak dan kolesterolnya. Jadi, saya mengkonsumsi daging jauh lebih jarang dari tahun-tahun sebelumnya.

Waktu terus berjalan, pengetahuan saya tentang vegetarianisme dan gaya hidup sehat terus bertambah, sedangkan pola konsumsi harian saya juga semakin berubah mengikuti pola baru yang menurut keyakinan saya “lebih sehat”. Saya lebih banyak mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan segar yang berwarna-warni (diet pelangi-red). Konsumsi daging ayam juga mulai saya tinggalkan sama sekali. Masakan ala ikan-ikanan, sesekali saja dan dengan porsi amat terbatas menjadi pilihan saya. Hal itu terjadi, terutama ketika lembaga dimana saya bekerja, sedang menggelar kegiatan-kegiatan di hotel, dimana selalu tersedia beraneka jamuan makan mewah dan gratis. Sehingga cukup memberikan godaan hebat bagi saya yang sedang memulai pola konsumsi baru yang cenderung semi vegetarian atau flexitarian (karena kandang-kadang masih makan daging ikan).

Keteguhan saya untuk terus berlatih menjadi seorang vegetarian semakin kuat. Pilihan menu harian saya semakin mendekati menu vegetarian, meskipun masih mengkonsumsi susu dan putih telur. Konsumsi ikan juga semakin jarang. Ketika ada kesempatan makan bersama di kegiatan-kegiatan atau acara-acara komunitas yang melibatkan jamuan pesta, saya mulai terbiasa dan tidak tergoda lagi untuk mencicipi masakan berbau ikan.

Kira-kira tahun 2003, ketika sedang hang-out bersama komunitas bikers, di komplek kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), secara kebetulan saya melihat ada warung tenda vegetarian yang dikelola oleh Keluarga Vegetarian Maitreya Indonesia (KVMI) cabang Yogyakarta. Warung tiban itu digelar bersama dengan puluhan warung tenda lainnya di jalan-jalan dalam kompleks kampus UGM, tepatnya di depan lapangan Gedung Graha Saba, setiap hari Minggu pagi. Tanpa berfikir panjang saya langsung “andok” di warung istimewa itu. Di sana, saya berkenalan dengan beberapa crew-nya, yang menurut saya sangat santun-santun dan nampak halus pembawaan perilakunya.

Masih ingat betul, saat itu saya dilayani oleh Mas Dondi (dari KVMI). Kesempatan itu kemudian saya manfaatkan untuk berkenalan dan berbincang-bincang tentang vegetarianisme. Dengan segenap pengetahuan dan dedikasinya, Mas Dondi menjelaskan panjang lebar tentang vegetarianisme dan KVMI sebagi sebuah organisasi nasional. Saya juga ditawari publikasi yang diterbitkan oleh KVMI, dan saya membelinya juga, diantaranya “Vegetarian Ok dengan Kwartet Nabati”, “Vegetarian OK 2” keduanya karangan L. Linan, dan “Memuliakan Semua Makhluk” karya Roshi Philip Kapleau, “Apa yang Salah Dengan Makan Daging,” serta sebuah buku saku dan tabloid tentang vegetarianisme.

Pertemuan tak terduga itu dan buku-buku KVMI yang telah saya baca sebagian, semakin memberikan motivasi dan meneguhkan komitmen saya untuk meneruskan jalan hidup yang mulai fokus pada pilihan “Lacto-Ovo-Vegetarian”.

Orientasi

Ada banyak tujuan atau orientasi mengapa seseorang memilih jalan hidup vegetarian. Saya pribadi pada awalnya “emoh” daging karena ingin meningkatkan kualitas kesehatan, sedikit demi sedikit, dilakukan saban hari. Karena itu, gaya hidup vegetarian menjadi alternatif terobosan paling masuk akal, dan mulai tahun 2003 saya bertekat menempuh jalan itu, meskipun saya tidak sedang menderita sakit tertentu.

Jaman terus berkembang, keyakinan saya tentang vegetarianisme semakin tak tergoyahkan. Di luar sana, gaya hidup vegetarian juga terus berkembang dan semakin banyak pengikutnya. Tidak hanya kaun agamawan dan kalangan aktivis pecinta lingkungan, para celebrity dan tokoh-tokoh terkenal dunia juga semakin banyak yang taat pada jalan hidup yang terbilang ideologis itu. Untuk sekedar menyebutkan beberapa contoh penganut vegetarianisme dunia: aktor terkenal Alicia Silverstone, Tobey Maguire (Spiderman), and Barbie Hsu; bintang NBA basketball John Salley; pembawa acara TV Ellen Degeneres; Peraih Nobel Perdamaian dan Ketua UN IPCC Dr. Rajendra Pachauri, anggota kongres USA Dennis Kucinich; jurnalis CNN Jane Velez-Mitchell; penyanyi popular Shania Twain, Paul McCartney, John Lennon, Jason Mraz, dan Moby; Jaksa dan analis hukum CNN Lisa Bloom; penulis terkenal Jonathan Safran Foer; supermodels Petra Nemcova dan Lauren Bush, dan masih ratusan lagi.

Satu dekade terakhir ini, jalan hidup yang dipandang green itu, bahkan disebut-sebut oleh para ahli ekologi bisa menjadi jalan keluar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan menyelamatkan bumi dari ancaman global warming, bila dilakukan oleh lebih banyak penduduk di planet bumi ini. Nah, kenyataan itu telah melengkapi dan memperkaya orientasi saya dalam bervegetarian. That’s why, belakangan ini saya lebih termotivasi untuk meneguhkan vegetarianisme dan green life style, sebagai bukti betapa cintanya saya terhadap lingkungan dan keselamatan bumi dari ancaman global warming dan climate change.

Terakhir, saya memang seorang muslim, dan agama saya tidak secara tegas mengajarkan tentang vegetarianisme. Kendati demikian, ajaran agama saya tentang kasih sayang terhadap sesama dan mahkluk lain, serta kebajikan yang harus diejawantahkan terhadap lingkungan alam, menjadikan saya semakin nyaman dengan alasan “ethical” mengenai perilaku vegarian yang saya yakini.***

Note:

Menurut beberapa referensi yang pernah saya baca, gaya hidup vegetarian bisa mencegah berbagai gangguan kesehatan seperti penyakit kanker, penyakit akibat kolesterol, obesitas, osteoporosis, ganguan ketika masa manupouse, serta tidak tertular penyakit dari hewan dan keracunan. Selain itu, ber-vegetarian diyakini banyak ilmuwan bisa memperpanjang kesempatah hidup dengan kualitas kesehatan prima, alias berumur lebih panjang dan dengan kondisi tetap sehat. How do you think, guys?

Selasa, 30 November 2010

Meski Buta, Dia Tidak Menyerah

Sepanjang perjalanan menuju rumah Markino (43), saya tidak pernah menyangka warga yang akan ditemui adalah warga paling miskin yang ada di Desa Watuulo. Awalnya saya ceria menikmati pemandangan dan udara sejuk dalam perjalanan menuju kediaman Markino. Akan tetapi begitu tiba di rumahnya, melihat Markino yang tertidur di lantai lembab tanpa tikar, mengenakan pakaian sangat kumal, dengan tangan dan kaki masih belepotan lumpur sawah yang mengering, saya langsung nelangsa, hilang keceriaan.


Kang Kino, begitu tetangganya biasa menyapa, adalah seorang tuna netra yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani. Markino mengaku, dia tidak 100% buta, tetapi menderita rabun yang akut, sehingga penglihatannya sangat-sangat terbatas, bisa jadi tidak lebih dari 5%. Karena itu, dia lebih sering digandeng istri atau simboknya ketimbang jalan sendiri ketika pergi mendatangi sawah atau ladang milik tetangga yang akan dia bantu mengolahnya.


Keadaan Rumah Pak Kino
Saya heran dan merasa iba melihat rumah Markino begitu mungil dan terletak di seberang jalan hampir berdempetan dengan mushola Roudhotul Jannah, yang juga tidak besar. Rumah berukuran 3x5m², tanpa ventilasi dan hanya berhiaskan satu pintu depan dan belakang yang menghubungkan 1 ruangan tambahan lagi yang tidak rapat berukuran 2x2m², untuk mengamankan 5 ekor kambing piaraan yang gemuk-gemuk. Rumah mini itu juga ditambahi satu ruangan super kecil seluas 1,5x2m² di sisi kanan luar yang semakin menggantung di bibir sungai yang lumayan curam, meskipun hanya sungai kecil untuk irigasi sawah.


Rumah mini tambahan itu, ternyata untuk tempat tinggal Mbok Juminem (69), ibu kandung Kang Kino. Bilik super kecil itu, isinya memang lumayan lengkap, meskipun tidak pada tempatnya. Bayangkan, di situ ada lincak kecil yang dihiasi sedikit pakaian lusuh yang acak tidak tertata, beberapa karung kecil berisi padi tapi tidak penuh, peralatan masak, tungku, ember, sisa kayu bakar, dan pernak-pernik perlengkapan dapur yang sangat sederhana dan tidak banyak jenisnya. Karung berisi padi itu hasil Mbok Minem dari “maro”1 sawah tetangganya tapi tidak luas. Hasil maro itu jarang dikonsumsi, karena baik Mbok Minem maupun Kang Kino selalu mendapatkan jatah raskin, meskipun harus menggantinya Rp 1.700,00 per kg. Kata Pak Yono, asisten saya selama penelitian, ruang pengap itu menjadi tempat paling privat milik Mbok Minem, yang dia gunakan ketika sedang memasak, makan, tidur, juga berteduh dari angin dan hujan.


Dua rumah mini jadi satu, yang pintu depanya langsung menghantarkan penghuninya ke halaman mushola hanya dengan dua langkah kaki itu, berbagi aliran listrik dengan Mushola Roudhotul Janah. Atas inisiatifnya sendiri, Kang Kino memberikan iuran Rp 5.000,00 per bulan untuk biaya listrik, yang praktis hanya untuk menyalakan 3 bohlam penerangan ukuran watt kecil, untuk rumah utama, kandang kambing, dan bilik Simboknya.


Sudah lebih dari sebulan ini Kang Kino harus rela berpisah dengan istrinya, Tuliah (50th), yang harus merawat ayahnya karena sudah tua dan sakit-sakitan, apalagi mertuanya itu tinggal sendirian di rumahnya di Karang Talun Kecamatan Ngluwar, kira-kira 2 km dari Watuulo. Praktislah rumahnya menyisakan sedikit ruang kosong 2,5m², sehingga terasa lebih longgar dari biasanya.


Kini Kang Kino hanya tinggal bersama Mbok Minem yang juga menjadi tanggungan hidupnya. Mbok Minem, dulunya adalah seorang pekerja yang giat, namun demikian beliau tidak bisa beranjak lepas dari kemiskinan. Tidak mempunyai keahlian dan alat produksi, seperti sawah atau ladang, mungkin itulah penyebabnya. Tanah yang sekarang ditempati rumah mini anaknya, sebenarnya juga bukan miliknya, akan tetapi sisa badan jalan yang berbentuk lereng yang berbatasan langsung dengan sungai kecil yang mengairi persawahan, sekaligus tempat MCK mereka. Karena itulah, sebelum rumahnya didirikan, mereka harus menguruk lereng tersebut menjadi lebih rata.


Keseharian Markino
Sehari-hari Kang Kino menghabiskan waktu membanting tulang untuk mencari nafkah, kalau tidak bekerja di sawah atau kebun tetangganya, dia biasanya sibuk dengan ternaknya, entah mencarikan pakan atau menggembala kambingnya di tempat yang tidak jauh dari rumahnya. Namun demikian, kadang kala dia juga dimintai tolong oleh tetangganya untuk memanenkan pohon kelapa, membersihkan pekarangan, memijat, dll. Tergantung permintaan warga, selama dia bisa melakukan, pekerjaan apapapun tidak akan pernah dia tolak.


Untuk memanenkan buah kelapa, setiap pohonya biasanya dia diberi imbalan 2 buah kelapa seharga Rp 1.000,00 per bijinya. Sedangkan untuk jasa buruh di sawah atau ladang, upah yang dia terima berkisar antara Rp. 10.000,00 hingga Rp 15.000,00 per hari, bekerja mulai jam 07:00 hingga 12:00 siang. Kadang-kadang malah ada yang membayarnya lebih rendah, barang kali kualitas pekerjaannya dianggap tidak sama dengan buruh lain yang normal. Khusus untuk jasa mengurut atau pijat, Bapak yang putra tunggalnya telah tiada ini, dihonori Rp 20.000,00. Padahal, menurut pengakuannya dan juga dikuatkan oleh kesaksian Kasi Kesra Dusun Watuulo dimana Kang Kino tinggal, tidak setiap hari ada warga yang menggunakan jasanya.


Harapan Seorang Markino
Kendati demikian, Kang Kino bukan berarti orang yang tidak punya impian untuk masa depan, paling tidak dia sudah terbukti berhasil berinvestasi. Lima kambing yang ada di kandangnya, bukan bantuan dari orang lain. Awalnya dia hanya punya satu ekor cempe, hasil dari “gaduh”2 kambing milik tetangga. Kemudian anak kambing tersebut dibesarkan dan dikawinkan dengan pejantan milik tetangganya, sehingga bisa beranak berkali-kali. Dengan hasil peternakan kecil itu, Kang Kino bisa menyemen dinding dan lantai rumahnya. Selain itu, pada hari raya kurban tahun 2009 lalu, Kang Kino menjalankan ibadah korban atas nama simbok tercintanya Juminem, dengan menyerahkan kambing jantan besar senilai Rp 800.000,00.


Tidak hanya itu, Kang Kino dan Mbok Minem juga berusaha untuk selalu mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan, meskipun hanya semampunya. Contohnya, Mbok Minem tidak mau ketinggalan untuk menyediakan sejumlah nasi bungkus untuk ritual pengajian di mushola. Sekali dalam setahun, dia juga memasak jamuan khusus untuk perayaan tradisi “nyadran”.


Menyandang sebagai keluarga termiskin di Desa Watuulo, tidak membuat mereka menjauh dari kehidupan sosial kemasyarakatan dan tradisi warisan leluhurnya. Yang kerap diacungi jempol dan bisa diteladani orang lain adalah, Kang Kino dan Mbok Minem tidak pernah putus asa dan mengemis kepada orang lain. Mereka selalu bekerja keras.


Selesai mewawancarai Mbok Minem, saya mengangsurkan sejumlah uang sekedar sebagai ucapan terimakasih. Sambil bercanda, Pak Kasi Kesra yang mendampingi saya berkata, “Niku rezeki Mbok, disimpen ingkang sae. Kangge tumbas jajan nggih pareng.” Diluar dugaan kami Kang Kino menyahut, “Ditukokne pitik malah mundak.” Pak Kasi Kesra tertawa lebar, saya ikut tertawa kecil dan tak tahan menahan haru.***

1 Menyewa sawah orang lain untuk ditanami, dan hasilnya akan dibagi fifty-fifty antara yang punya sawah dengan si penyewa.

2 Gaduh adalah memelihara dan mengembangbiakan ternak orang lain, selama periode tertentu, dan akan mendapatkan imbalan berupa sebagian anak ternak hasil pengembangbiakan itu.

Rabu, 27 Oktober 2010

Menerjang Lendut Gembel*

Magelang, Selasa 26 Oktober 2010

Mendekati tempat tinggal Mas Kencuk, asisten lokal kami dalam melakukan riset, beberapa lelaki terlihat berkerumun di tepi jalan. Kondisinya sudah gelap, mereka seperti habis mengamati sesuatu. Kami sedikit bertanya-tanya ada apa gerangan, dan hanya bisa menduga-duga. Tak berhasil memastikan jawabannya.


Sebentar kemudian, mobil kami memutar, Mas Kecuk mengucap salam perpisahan. “Oke, sampai ketemu besuk Mas Kencuk. Untuk acara besuk kami dari Jogja agak siangan, mungkin jam delapan Mas,” Pak Titok memastikan janjinya, untuk kegiatan hari kedua riset kami.


Belum genap dua kilo meter kendaraan kami menyusuri jalan menurun itu, “Kletak-kletok, kletak-kletok”, hantaman benda kecil menghentak-hentak merata di seluruh body kendaraan kami, Avansa 2009.


“Mas hujan abu! Hujan abu Merapi ini Mas...!” Pak Titok menyela dengan pandangan sedikit heran, terbuang ke depan sambil terus menginjak gas dan mencermati batu-batu seukuran kedelai yang loncat terpelanting dari kaca depan kendaraan.


“Iya, hujan krikil Merapi... sebaiknya kita terus saja. Kita sedang bergerak menjauh ini. Kita terus saja Pak!” sahutku dengan sedikit kawatir sambil menurunkan volume audio, yang sedari pagi tak lelah menghibur kami.


Toyota kami terus meluncur menyusuri jalan yang semakin lurus polanya, meski semakin pelan, meninggalkan Kecamatan Sawangan, lereng Barat Daya Merapi, satu di antara dua kecamatan dimana kami berdua sedang melakukan riset tentang PNPM Mandiri Perdesaan, untuk hari pertama, di Kabupaten Magelang.


Tidak sendirian, ada beberapa mobil dan sepeda motor yang juga berebut saling mendahului di jalan yang semakin gulita itu. Hari yang semakin malam, dan kerapatan hujan kerikil vulkanik semakin memangkas jarak pandang kami.


Keheranan kami bertambah ketika tak lama kemudian, guyuran kerikil vulkanik perlahan berganti menjadi hujan abu basah atawa rintik-rintik lumpur yang jelas mengganggu wiper penyeka kaca depan mobil kami.


Laju kendaraan kami terpaksa melambat, tidak hanya karena kaca kendaraan semakin pekat berbalut lumpur vulkanik yang kian menebal, tapi juga iringan kendaraan yang ada di depan kami, bergerak semakin lengket dengan jalan beraspal karena timbunan lumpur vulkanik juga tak henti meninggi.


Sejujurnya, aku menjadi sedikit panik. Namun, masih berusaha untuk tetap tenang dan menghibur diri, “Alat rekamku tak hidupkan Pak, biar seperti fungsi ‘kotak hitam’ pesawat, merekam kepanikan kita,” aku kembali melontarkan candaan. Sementara Pak Titok tertawa ringan dan kembali berkonsentrasi memastikan laju kendaraan kami agar tetap aman terkendali.


Jalannya kendaraan yang lambat, memberikan kesempatan padaku untuk mengamati penduduk yang ada di sepanjang jalan, dari kaca samping yang relatif lebih tipis lumpurnya (barangkali karena posisinya yang lebih vertikal bila dibandingkan dengan kaca depan dan belakang). Sebagian dari mereka terlihat biasa, seperti tidak ada yang istimewa dan dirisaukan. Kami berfikir bahwa, “Barangkali mereka sudah sering mengalami hujan sebentuk itu.” Lagi pula, belakangan isu tentang segera ‘njebluknya’ merapi terdengar semakin santer di kalangan warga Magelang, Yogyakarta, dan sekitarnya, bahkan sudah menjadi wacana media massa nasional.


Sebentar kemudian, kami berdekatan dengan sebuah mobil pick-up, yang terpaksa berhenti karena wiper kacanya macet terbenam lapisan lumpur vulkanik. Sang sopir, seorang lelaki tua, terpaksa harus turun dari mobil, bermandikan hujan lumpur, menuju selokan kiri jalan untuk mengambil air, hanya dengan kedua tangannya, mengguyur dan menyeka kaca agar tembus pandang lagi.


Kami tak tahan untuk tertawa melihat kejadian itu, sekaligus bertambah resah, karena gerak wiper kaca depan semakin berat dan berderit-derit. Sedangkan cadangan air yang akan menyembur ketika tombol kendalinya dipencet, sudah tidak bisa mancur lagi. Alat penjernih kaca depan itu, menjadi tidak bekerja maksimal. Jarak pandang kami terganggu, hanya bisa melihat jalan beberapa meter saja. Rasa takut mulai menjalari sekujur tubuhku, mengingat betapa berbahayanya berkendara dengan pandangan yang amat terbatas. Belum lagi jalan yang kami lewati tidak begitu lebar, dengan dua selokan lumayan lebar mengapitnya, lekap sudah kekawatiranku, “Wah ini gimana ya?” kalimatku yang tidak ceria lagi “Sepertinya kita harus berhenti dulu Mas. Kita berteduh dulu. Nanti kita cuci kaca depan dengan air minum kita, baru jalan lagi,” Pak Titok mencoba mencari jalan keluar.


Tepat di depan sebuah kios celuler, kami sepakat untuk menepi ke kiri jalan, keluar dari mobil dan hendak berteduh di kios itu. Ketika keluar mobil, dan setengah berlari menuju kios tersebut, kami sempat terpapar guguran lumpur vulkanik, yang sepertinya semakin mereda. Saat itu, untuk pertama kali aku tahu dan mencicipi aroma abu vulkanik. Aromanya berasa gas belerang.

Rupanya sang empunya kios hendak mengungsi. Mereka sibuk membereskan dagangannya. Kios itu segera di tutup, hingga kami berteduh di luar kios. Untuk beberapa saat kami merasa aman. Kemudian datang dan berteduh juga seorang wanita muda pengendara sepeda motor Suzuki. Sepeda motornya tidak berbeda denga kondisi mobil kami yang diselimuti abu vulkanik basah alias lumpur Merapi. Jas hujan yang telah dia kenakan tak beda kondisinya, penuh dengan lumuran jenang tanah.


Dari pengedara Suzuki Shogun itu, kami mendengar berita bahwa Merapi telah ‘njebluk’ beberapa kali sejak sekitar jam 18:oo WIB. Waktu itu jarum jam tangan kami menunjuk angka 18:20 WIB.


Beberapa menit kemudian, hujan abu terlihat semakin mereda. Ada melintas iring-iringan kendaraan yang lebih besar. Sebuah ambulan yang merupakan bagian dari Tim Evakuasi Bencana Merapi, dan truk PLN yang mengangkut pembangkit listrik mobile, yang barang kali sedang menuju lokasi pengungsian. Kami putuskan untuk segera membersihkan kaca depan mobil dengan sisa air minum kemasan, dan perjalanan kami teruskan. Kami berusaha mengejar dan membuntuti iring-iringan kendaraan itu. Dengan harapan kami akan terbantu dalam mengendalikan laju mobil kami, mengingat guguran debu terus terjadi.


Akhirnya, kami berhasil semakin menjauhi kawasan Barat Daya lereng Merapi. Setelah masuk ke jalan besar Magelang-Yogyakarta, kesibukan aktivitas pengungsi juga kerap kami temui. Sebentar kemudia, kami putuskan untuk berhenti lagi di sebuah toko klontong, guna membeli air minum kemasan lagi, kali ini untuk kembali menyeka kaca depan Avansa kami.


Alkhamdulillah, perjalanan kami semakin lancar setelah semakin jauh meninggalkan daerah Muntilan, Magelang. Celuler Pak Titok beberapa kali teriak, tanda pesan pendek terus berdatangan. Hampir seluruhnya menanyakan perihal situasi Jogja saat itu. Beberapa temannya juga menelpon.


Kira-kira 15 menit kemudian kami sudah sampai di Jogja kembali. Kami sempatkan untuk berhenti sejenak, kembali membersihkan kaca depan dan lampu penerangan utama mobil kami, yang sedari tadi ternyata terlupakan. “Pantesan, jalan terasa gelap ketika mobil kita sendirian melaju di jalanan,” Pak Titok berseloroh sambil tersenyum lega. Kami telah selamat sampai Jogja. Once more, thank you very much indeed, My God.


*Lendut Gembel, plesetan dari Wedhus Gembel. Wedhus Gembel adalah sebutan paling populer untuk awan panas vulkanik Gunung Merapi yang sangat mematikan dan telah merenggut begitu banyak korban jiwa selama ini.

Kamis, 07 Oktober 2010

Global Warming dan Ancaman Kesehatan

Sudah sejak sekitar tiga puluh tahun yang lalu, beberapa ilmuwan mulai memperingatkan ancaman “paling serius” setelah perang dingin (Cold War), yakni global warming. Kini gejalanya semakin kentara dan mudah diindra dimana-mana. Perubahan cuaca dan situasi lautan, pergeseran ekosistem, serta degradasi lingkungan berakibat buruk pada kehidupan di muka bumi—menyulitkan manusia dan banyak mahkluk lain.

Para ahli terus menggelar riset untuk lebih jauh mempelajari dan mencari jalan keluar persoalan super gawat tersebut. Kesimpulannya tunggal, global warming dan climate change benar terjadi serta efek dasyatnya tinggal menunggu waktu. Bahkan sudah ada angka resmi yang membeberkan bukti otentik adanya peningkatan suhu permukaan bumi. Faktanya, paling tidak suhu bumi secara keseluruhan telah naik sebesar 0,6º Celsius (ºC) atau sepadan dengan 0,9º Fahrenheit (ºF), bila dibandingkan dengan kondisi bumi satu abad yang lalu (Suara Merdeka, 20/8/2010).

David Brown, seorang staf penulis media Washington Post yang punya perhatian khusus pada isu-isu pemanasan global, menandaskan bahwa phenomena yang terjadi akan berbeda-beda. Perubahan yang terjadi akan bergantung “di wilayah mana kita berada”. Situasinya bisa lebih panas, lebih basah, lebih kering, lebih berangin, lebih hening, lebih kotor, lebih banyak kelaparan, lebih banyak penyakit, atau lebih suram bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bahkan di daerah-daerah tertentu bisa jadi akan sangat mematikan. Dia menegaskan bahwa efek perubahan iklim sangat beragam dan acap kali bertolak belakang. Secara umum perubahannya akan mendatangkan ketidakstabilan dan kejadian-kejadian extreme. Garis-besarnya, climate change cenderung mengancam kesehatan ketimbang memberi kontribusi pada perbaikan kesehatan manusia.

Pendapat Brown (2007) menguatkan kata-kata Jonathan A. Patz, seorang dokter dan epidemiologis dari Universitas Wisconsin di Madison, bahwa “Cimate change affects everything”. Segalanya akan kena imbas perubahan iklim global. Belahan bumi tertentu akan menjadi lebih basah karena lebih sering terpapar curah hujan, sedangkan tempat lain menjadi lebih kering karena semakin jarang mendapat jatah air dari langit. Badai, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan bencana alam lain lebih sering terjadi, dan kerap kali melanda tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah mengalami bencana serupa. Nah, kondisi yang demikian akan sangat rentan mendatangkan berbagai macam gangguan kesehatan, tidak hanya serangan penyakit infeksi (infectious diseases), tapi juga gangguan jiwa akibat depressi yang bertubi-tubi.

Kenaikan suhu atmosfir bumi yang rata-rata hampir 1º F tersebut, menurut World Health Organization (WHO), hingga tahun 2000 telah menyebabkan sekitar 160.000 korban jiwa setiap tahunnya. Pada tahun 2020, WHO memperkirakan angka tersebut akan berlipat menjadi 300.000 per tahun.

Para ilmuwan juga meramalkan bahwa global warming turut meningkatkan frekwensi bencana gelombang panas (heat waves), yang pada tahun 2003 lalu telah mencelakai sebagian masyarakat Eropa. Tidak kurang, 30.000 orang meninggal karena penyakit yang ada kaitan langsung dengan gelombang panas. Di Perancis saja, hanya dalam tiga minggu (di bulan Agustus 2003), badai udara panas tersebut telah merenggut paling tidak 14.800 jiwa.

Fakta temuan WHO yang lebih mengkawatirkan lagi adalah, bahwa sepanjang tahun 1976-2008, ada paling tidak 30 penyakit-penyakit baru yang muncul akibat global warming dan climate change. Diantara penyakit tersebut, yang bisa dibilang paling menonjol dan dinilai cenderung lebih ganas adalah penyakit demam berdarah, malaria, demam kuning, kolera, diare, dan virus ebola, yang sangat mematikan dan telah menelan banyak korban jiwa (KOMPAS, 15/11/2008). Hal tersebut ada kaitannya dengan semakin bertambahnya wilayah-wiyalah yang memiliki suhu lebih hangat dan lembab (tropical), sehingga serangga dan binatang lain penyebar penyakit seperti nyamuk, lalat, siput, dan tikus bisa berkembang biak lebih cepat dengan sebaran yang lebih luas.

Hasil studi-studi yang lain, mengetengahkan kesimpulan yang serupa bahwa naiknya kehanggatan suhu bumi berbanding lurus dengan prevalensi kejadian gangguan kesehatan lain, diantaranya, serangan stroke, gangguan berbagai penyakit kulit, gangguan pencernaan, bermacam demam, radang otak, japanese encephalitis, filariasis, deman berdarah dengan gejala ginjal, flu burung, SARS, leptospirosis, dll. (Koran Tempo, 17/12/2007).

Gangguan kesehatan yang dimaksud, ternyata tidak hanya akibat dari muncul-dan-berkembangnya berbagai penyakit infeksi saja. Perubahan cuaca yang membawa pada meningkatnya kejadian bencana di wilayah tertentu, ditambah pencemaran lingkungan yang parah, terutama pencemaran logam berat, telah mendatangkan berbagai gangguan kesehatan yang sangat mematikan, seperti munculnya bermacam-macam kanker, terjadinya kerusakan organ-organ vital, alzheimer, deformasi sedari lahir pada bayi baik fisik maupun mental, dst.

Patterson Clark (Washington Post, 2004) menggambarkan bahwa degradasi lingkungan, merosotnya kualitas air, udara, dan tanah akibat dari pencemaran (polutan) telah melahirkan berbagai penyakit dan turut memperparah problem kesehatan masyarakat. Buruknya kualitas air akan berujung pada meningkatnya kejadian wabah kolera, hepatitis A, leptospirosis, cryptosporidosis, dinoflagellatered tides”, juga keracunan ikan dan kerang akibat kontaminasi bakteri vibrio dan salmonella. Polusi udara akan berdampak pada meningkatnya serangan asma, alergi dan coccidiodomycosis, serangan jantung dan paru-paru kronis. Laporan WHO menyebutkan, paling tidak terjadi tiga juta kematian di seluruh dunia setiap tahunnya akibat pencemaran udara. Angka tersebut, terbilang “tiga kali lipat” dibandingkan dengan jumlah korban tewas akibat kecelakaan pada alat transportasi.[1] Kemerosotan lingkungan juga mendatangkan penyakit lain yang ditularkan oleh serangga, seperti hantavirus pulmonary syndrom, viral encephalitis, Rift Valley fever, schistosominiasis, scabies, lyme, dll.

Yang lebih buruk lagi, karena keterbatasan resources dan buruknya kualitas pelayanan publik, masyarakat miskin di negara-negara berkembang seperti Indonesia akan menderita terpaan paling mengenaskan akibat bencana ekologis tersebut. Sedangkan kelompok yang paling tidak diuntungkan (vulnerable groups) adalah anak-anak dan balita. Seperti yang pernah disoroti dalam laporan WHO (1997), bahwa 80% dari sekitar 3 juta korban meninggal akibat malaria adalah balita dan anak-anak. Demikian juga para lanjut usia, orang yang sedang sakit, dan orang yang miskin, menjadi kelompok-kelompok lain yang sangat rentan.

Menilik contoh situasi yang ada di Indonesia, data yang dilansir oleh Yayasan Pelangi Indonesia, di Pulau Jawa dan Bali juga mengalami peningkatan hampir tiga kali lipat kasus kejadian malaria. Dari 18 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 1998, berlipat menjadi 48 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 2000. Sedangkan di luar Pulau Jawa dan Bali, kasus penyakit serupa juga meningkat hingga 60% pada periode yang sama. Tercatat, kasus paling masif terjadi di NTT, yakni 16.290 kasus per 100.000 penduduk.

Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang digelar tahun 1995, menyibak fakta bahwa sekitar 15 juta penduduk Indonesia terjangkiti malaria, dan 30.000 diantaranya tidak terselamatkan (WHO, 1996). Jika upaya untuk mengatasi climate change tidak berhasil, prediksi para ahli mengatakan bahwa Indonesia akan terus didera peningkatan kasus penyakit malaria dan demam berdarah. Untuk demam berdarah diperkirakan akan meningkat hingga empat kali lipat pada periode yang sama, dari 6 kasus per 100.000 penduduk menjadi 26 kasus.[2]

Kemudian penanganan yang bagaimanakah sebaiknya? Karena skalanya global, cara yang paling tepat untuk mengatasi persoalan tersebut adalah melalui kerjasama internasional. Tentu saja, dibawah bendera PBB dan organisasi kemanusiaan transnasional lainnya, gerakan dan upaya untuk mengatasi persoalan tersebut akan lebih efektif dijalankan.

Mengingat sedikit banyak telah bisa dipetakan efek destruktifnya, perencanaan yang matang dan kesiap-siagaan atau tanggap darurat (preparedness) pada level masing-masing negara, dalam hal ini mencakup persoalan kelembagaan, logistik termasuk shelters, dan juga obat-obatan menjadi penting untuk dipersiapkan sejak dini. Sehingga upaya untuk mengurangi resiko dan meringankan dampaknya menjadi bisa bekerja dengan baik. Terutama, negara harus bisa memastikan penghematan resources yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang kian terbatas, seperti air bersih dan lahan pertanian produktif.

Namun demikian, mencermati apa yang pernah dikatakan oleh Kristie L. Ebi,[3] seorang epidemiologis dari Amerika, bahwa “The impacts of climate change really depend on your local context,”dengan demikian negara harus segera mempersiapkan stakeholders yang ada di daerah dan level komunitas, membekalinya dengan desain dan cara pengembangan metode beradaptasi terhadap perubahan yang bakal terjadi. Selain itu, pengawasan terhadap perkembangan penyakit-penyakit infeksi mutlak dilakukan, sehingga bisa dengan mudah merencanakan dan mempersiapkan langkah-langkah antisipasi. Harapanya, tingkat kerentanan (vulnerability) bisa dikurangi sekaligus ketahan (resilience) mereka bisa terdongkrak.

Selain itu, kalau dirunut lebih jauh, persoalan kesehatan merupakan problem “hilir” dari global warming dan climate change, sedangkan kerumitan di “hulu” telah mendera lebih dulu pada bidang-bidang lainnya. Dengan begitu, peran kesadaran publik yang bisa membawa pada perubahan perilaku individual untuk melakukan upaya-upaya pencegahan menjadi sangat esensial. Untuk itu tips populer yang sering beredar dalam wacana para pecinta lingkungan dan penganut green-life-style, yakni Tiga MMulai dari diri sendiri, Mulai dari hal-hal kecil, dan Mulai dari sekarang—menjadi sangat relevan, visoner, dan menjanjikan perubahan nyata bila telah menjadi komitmen hidup lebih banyak orang. Semuanya selalu bergantung pada kita semua, pada akhirnya. Bukankah masing-masing dari kita punya andil pada terjadinya global warming?



[1] USDA, Production, Supply and Distribution, electronic database , at www.fasusda.gov/psdonline, updated 12 July 2007.

[2] PORTAL CBN, Cyberhealth, SENIOR, Gaya Hidup Sehat, http://cybermed.cbn.net.id.

[3] Kristie L. Ebi is Executive Director of the Technical Support Unit for Working Group II (Impacts, Adaptation, and Vulnerability) of the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Prior to this position, she was an independent consultant. She has been conducting research on the impacts of and adaptation to climate change for more than a dozen years, including on extreme events, thermal stress, foodborne safety and security, and vectorborne diseases. She has worked with the World Health Organization, the United Nations Development Programme, USAID, and others on implementing adaptation measures in low-income countries. She facilitated adaptation assessments for the health sector for the states of Maryland and Alaska. She was a lead author on the “Human Health” chapter of the IPCC Fourth Assessment Report, and the “Human Health” chapter for the U.S. Synthesis and Assessment Product “Analyses of the Effects of Global Change on Human Health and Welfare and Human Systems.” She has edited fours books on aspects of climate change and has more than 80 publications. Dr. Ebi’s scientific training includes an M.S. in toxicology and a Ph.D. and a Masters of Public Health in epidemiology, and two years of postgraduate research at the London School of Hygiene and Tropical Medicine.

Selasa, 15 Juni 2010

Gendu-gendu Rasa Wong Desa ala Kebumen

Irama alat musik ‘Janeng’1 mengalun merdu, bertalu menggema memecah keheningan balai pertemuan Desa Kembaran, Kec.Kebumen, Kab. Kebumen. Musik tradisional yang mulai menghilang ini menjadi pertanda akan dimulainya diskusi dengan tajuk, “Gendu-gendu Rasa Wong Desa tentang ADD, Kemiskinan, dan Bedah Flamma”2. Peserta mulai berdatangan dan mengambil tempat duduk, demikian juga rombongan kami dari IRE Yogyakarta yang datang setengah jam lebih awal dibandingkan peserta lain.

Gendu-gendu (membincangkan-red) Rasa, merupakan sesi diskusi komunitas yang diinisiasi oleh Karang Taruna Satma Kusuma Jaya yang didukung Pemerintah Desa (Pemdes) Kembaran. Dalam sambutannya, Dwi Agus Kurniawan, sang nahkoda Satma Kusuma Jaya, menyampaikan bahwa forum terbuka tersebut dimaksudkan untuk turut mendorong karang taruna agar lebih tahu dan peduli perihal ADD, menghimpun informasi pembangunan antar desa, serta menggali lessons-learned tetang pelaksanaan ADD sejauh ini. Sunaji Zamroni, peneliti dari IRE Yogyakarta, hadir sebagai pembicara untuk memaparkan perihal sejarah lahirnya ADD dan pengalaman IRE dalam mengawal pelaksanaanya ADD di berbagai daerah yang menjadi lokasi penelitian IRE.


Kegiatan yang digelar Sabtu, 12 Juni 2010 tersebut tidak hanya dihadiri warga Desa Kembaran, tetapi juga perwakilah dari desa sekitarnya, beberapa LSM lokal, dan OMS yang ada di Kebumen, serta pihak Pemerintah Daerah yang diwakili oleh Kepala Bidang (Kabid) dan Wakil Kepala Bidang (Wakabid) Bapermades (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa) Kab. Kebumen.


Pak Ghofar Ismail N, Lurah Desa Kembaran, menjelaskan bahwa acara tersebut dalam rangka mencari ilmu, mengembangkan wawasan, untuk diamalkan secara bersama-sama demi kebaikan bersama. Beliau juga memuji kemajuan cara berpikir karang-tarunanya, yang punya inisiatif, berfikir terbuka, dan peduli pada pembangunan, dalam visi bersama membangun masyarakat, baik aspek moral, material, dan spiritual. Selain itu, beliau juga menegaskan bahwa pemuda memang harus bangkit, bergerak, karena kemajuan berada di tangan pemuda, dan merekalah yang kelak akan menjadi pemimpin berikutnya.


“Kami senang dengan forum seperti ini, kami bisa mendapatkan apa-apa yang harus kami lakukan,” kata Ibu Herlina (Wakabid Bapermades) mengawali sambutannya. Selanjutnya, beliau menunjukkan beberapa dasar hukum dan mekanisme pelaksanaan ADD, diantaranya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 72/2005 tentang Desa, Permendagri No 37/2007 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Perda Kebumen No. 2/2007 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Perbup No. 31/2008 tentang ADD. Kilasan sejarah, tujuan, manfaat, dan mekanisme pelaksanaan ADD di Kab. Kebumen juga tidak lepas dari paparannya.


Sejarah pergulatan memperjuangkan lahirnya ADD di tingkat nasional, peran IRE dalam upaya tersebut, serta sekilas tentang penelitian dan pendampingan IRE terkait isu-isu ADD merupaka topik-topik persoalan yang disampaikan oleh Sunaji Zamroni. “ADD telah membuka cara pandang baru, tentang kedudukan desa di mata Kabupaten,” tukas Sunaji memaknai munculnya kebijakan ADD. “Dan Kabupaten bukanlah Sinterklas, ADD adalah hak desa dan salah satu tindak lanjut kebijakan desentralisasi,” tambah Sunaji. Temuan-temuan unik seputar pelaksanaan ADD dari riset IRE di berbagai daerah dan masukan-masukan penting untuk perbaikan tak luput dari elaborasi yang disampaikan Sunaji Zamroni. Ia juga sesekali mengajak peserta untuk membuka-buka majalah Flamma yang telah ada di tangan mereka.

Merespon pertanyaan peserta tetang adanya perangkat desa di Kebumen yang sedang menghadapi kasus hukum karena dugaan penyimpangan ADD, baik Sunaji maupun Herlina menegaskan bahwa, asalkan mengikuti aturan hukum dan prosedur yang ada, masyarakat tidak perlu khawatir dalam mengelola ADD. “Sejauh aturannya dipenuhi, saya kira tidak ada masalah,” ujar Sunaji.


Diskusi yang dipandu oleh Borni Kurniawan diakhiri dengan harapan bersama bahwa partisipasi semua pihak, transparansi, dan akuntabilitas pelaksanaan ADD akan turut memastikan adanya pembangunan yang sesuai harapan bersama.


1. Janeng dan Ebleg merupakan dua kesenian daerah yang tergolong tradisional. Dua kesenian itu sejak sekian lama telah menjadi jantung kesenian tradisional di kabupaten Kebumen. Dahulu, sekitar 1980-an, sebelum dangdut, musik pop, campursari, dan kesenian modern lain populer, musik Janeng sering dimainkan di mana-mana: di balai desa, kecamatan, pendopo kabupaten, dan di tempat orang punya hajat. (www.suaramerdeka.com).


2. Majalan Flamma yang turut dibedah dalam diskusi tersebut adalah Majalah Flamma Edisi 33, Januari-Maret 2010, dengan tajuk “Menuntaskan Target lama, Sengkarut Penanggulangan Kemiskinan”

Note: Tulisan ini juga dipublikasikan dalam http://www.ireyogya.org/id/



Selasa, 08 Juni 2010

Potensi Sultan’s Birds untuk Dusun Ketingan

Keunikan atau sering dibahasakan dengan kata yang lebih indah, eksotisme, merupakan potensi alamiah Dusun Ketingan, yang telah diamini banyak pihak. Adalah sebuah dusun wisata alternatif yang menawarkan obyek konservasi fauna jenis burung kuntul atau blekok, serta paket wisata lain yang ada kaitannya denga pesona kehidupan pedesaan yang masih asri dan alami.

Menjejakkan langkah ke wilayah tersebut kita akan langsung disambut dengan jalan desa beraspal, meskipun sudah mulai berlubang di sana-sini, dan gapura kembar (pertama) warna krem bertepi coklat yang menjulang kokoh. Gapura kiri, dihinggapi sebuah patung burung kuntul besar warna putih, sedangkan gapura kanan ditenggeri tiga patung burung serupa, seekor kuntul besar dan dua blekok kecil yang semuanya berwarna putih. Keempat putung tersebut seperti dirancang khusus berpose kas layaknya burung sawah liar kebanyakan, yang menggambarkan keceriaan, kedamaian, dan kebebasan kehidupan liar, yang dijamin kelestariannya oleh masyarakat setempat.

Tepat di depan sebelah kanan gapura megah tersebut, terpampang dua plang kokoh. Plang yang lebih tinggi, berpenyangga pipa besar tunggal, dan berwarna dasar hitam flat bertuliskan huruf besar warna putih, “Selamat Datang di Desa Wisata Fauna Ketingan, Desa Tirtoadi, Kecamatan Mlati.” Sedangkan, yang lebih pendek, berkaki dua, bercat dasar warna putih dengan tulisan warna hitam tegas berbunyi, “Dilarang Berburu, Sesuai: UU No. 5 Tahun 1990 dan Instruksi Gubernur Nomor: 10/INSTR/1998, BKSDA Yogyakarta, DIPA Tahun 2009.” Plang-plang tersebut tentu saja sudah bisa mewakili betapa seriusnya komitmen masyarakat setempat untuk membawa desanya tumbuh menjadi desa wisata alternatif yang menjanjikan keunikan khas pedesaan yang ramah terhadap ekosistem.

Gapura kedua yang jauh lebih megah adalah penanda selanjutnya yang menjadi gerbang utama masuk ke Dusun Ketingan. Gapura dengan dominasi warna krem dan list coklat tua, yang bagian atasnya saling terhubung menyatu dengan naungan atap genting yang kokoh, selain menyuguhkan tulisan “Selamat Datang” juga menampilkan slogan lain berbunyi, “Estining Gapuro Trus Manunggal, Dusun X Ketingan”, yang ditengahnya terdapat pahatan tanda tangan Sri Sultan HB X, raja ke-10 Kasultanan Yogyakarta. Sebuah papan bergambar peta daerah wisata Dusun Ketingan, yang menampilkan layout obyek-obyek wisata berupa rumah joglo khas arsitektur Jawa, gardu pandang, persawahan, peternakan, kolam pakan burung kuntul, dst. berdiri tegar di sisi kanan depan gapura. Di seberang kiri, berdiri juga plang peringatan larangan berburu yang serupa dengan yang ada di depan gerbang pertama.

Melewati kedua gerbang penanda tersebut kita langsung disambut dengan pohon-pohon tinggi merindang, hijau menyegarkan mata. Diantaranya, rumpun-rumpun pohon bambu, kelapa hijau, johar, adem-adem ati, mlinjo, nangka, flamboyan, juga pohon mangga. Nah, menjadi daya tarik utama adalah, di pucuk-pucuk sebagian besar pohon-pohon tersebut bertengger, dan sesekali meloncat-loncat, kemudian terbang berpindah ke pohon lain, burung-burung besar warna putih bersih yang tampak sehat. Di ruas-ruas percabangan ranting pohon, banyak dihiyasi onggokan-onggokan ranting kecil dan daun kering yang menjadi sarang peraduan keluarga ribuah burung musiman kuntul. Suara teriakan piyikan (anak-anak burung) yang meminta suapan makanan dari induknya berpadu dengan derat-derit suara daun dan ranting pohon, yang ditiup desir angin turut melengkapi keunikan dan keindahan Dusun Ketingan.

***

Menurut penuturan beberapa warga setempat, koloni burung kuntul dan blekok mulai datang dan singgah di Dusun Ketingan sejak tahun 1997. Awalnya hanya beberapa ekor saja. Singgah di rumpun-rumpun bambu di pinggiran dusun. Namun, seiring berjalannya waktu koloni mereka semakin banyak, ratusan ekor, dan kemudian menjadi ribuan. Entah ada kaitannya atau kebetulan belaka, menurut Pak Haryono, yang hingga saat ini menjadi Ketua Pengelola Desa Wisata Ketingan, fauna migran tersebut mulai datang ke dusunnya setelah kunjungan Sri Sultan HB X berserta istrinya, dalam rangka meresmikan jalan dan gapura dusun, hasil swadaya masyarakat. Konon, tidak lama setelah kunjungan Raja Kasultanan Yogyakarta tersebut koloni burung kuntul dan blekok mulai rutin datang dan berkembangbiak. Awalnya hanya puluhan ekor saja, tetapi lama kelamaan semakin banyak. Itulah kenapa, muncul anggapan di benak sebagian warga bahwa kedatangan koloni unggas tersebut tak lepas dari ‘tuah’ yang dibawa serta oleh kunjungan Raja Jawa. Hingga muncul sebutan ‘burung sultan’ atau ‘Sultan’s birds’.

Pada awalnya warga Ketingan sempat kawatir bahwa kehadiran ribuan satwa dilindungi terebut akan membawa dampak buruk bagi kehidupan mereka. Mengingat, ribuan satwa tersebut berdatangan dalam jumlah yang luar biasa besar, bertengger, dan bersarang tidak hanya di rumpun-rumpun bambu di tepiah sawah, akan tetapi juga mendiami vegetasi produktif lain yang selam ini turut membantu meningkatkan pendapatan masyarakat diluar pertanian sawah. Yakni, pohon kelapa hijau dan tanaman melinjo. Belum lagi dengan kotoran dan bulu-bulu mereka, yang mengotori dan menimbulkan bercak-bercak putih di dedaunan pohon dan tanah dibawahnya. Selain berbau anyir, masyarakat sempat mengkawatirkan munculnya wabah penyakit yang bisa ditularkan oleh fauna jenis unggas tersebut. Namun, keresahan warga akhirnya mereda, setelah hasil penelitian yang diorganizir oleh Tim dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada mampu membuktikan bahwa kotoran burung kuntul di Ketingan tidak berbahaya. Kekawatiran masyarakat terhadap kemungkinan penularan virus flu burung dibantah oleh tim ahli tersebut, “Menurut beliau-beliau, burung kuntul yang singgah di sini, adalah jenis pemakan binatang kecil dan serangga. Sedangkan unggas yang potensial menularkan virus adalah mereka yang pemakan biji-bijian,” terang Haryono, Ketua Pengelola Desa Wisata Ketingan.

Mengukuhkan kabar gembira yang dipaparkan tim ahli dari UGM, hasil penelitian pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) juga mengungkapkan fakta yang tidak jauh beda, bahwa koloni unggas musiman tersebut dipandang aman, sejauh ini tidak membawa wabah penyakit tertentu. “Aman kok, selama ini belum pernah ada warga yang sakit karena burung-burung kuntul itu,” ungkap Triyanto (28), seorang anggota karang taruna setempat. Fakta lainya adalah, kotorannya, yang berwana putih dan berbau agak amis, sangat baik untuk tanah, karena mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman.

Fakta-fakta positif yang dilandasi kajian ilmiah tersebut, semakin mendorong dan menguatkan komitmen warga Dusun Ketingan untuk mengembangkan potensi alamnya. Harapanya, mereka akan mendapatkan keuntungan ekonomis dan ekologis yang pada akhirnya bisa mendongkrak kesejahteraan mereka. Selain itu, mereka tidak ragu-ragu lagi untuk semakin hidup dekat, berdampingan, dan turut menjaga keberadaannya. Mereka tidak enggan lagi untuk memberi makan kuntul, juga menyelamatkan piyikan yang belum bisa terbang yang kebetulan terjatuh ke tanah. Mereka berusaha mengembalikannya ke sarang asalnya. Para pemburu burung pun dijamin tidak akan bisa melampiaskan hobby buruknya di kawasan konservasi Ketingan. Warga telah memajang papan-papan peringatan larangan berburu di beberapa tempat strategis, dan tak segan-segan untuk mengusir mereka yang nekat melampiaskan syahwat destruktifnya mengusik kedamaian ekosistem di wilayahnya. Kesungguhan, interaksi yang harmonis, dan kepedulian mereka terhadap kelestarian lingkungan alam, terutama fauna kuntul dan blekok, menjadikan dusunnya menjadi salah satu daerah konservasi di Yogyakarta. Capaian itu tentunya sangat membanggakan banyak pihak. Belum lagi penghargaan yang telah diberikan kepada salah satu panutan mereka, Haryono, yang pada Agustus 2008, diundang ke Istana Negara untuk dianugerahi sebuah kehormatan, sebagai Kader Konservasi Alam, oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono.

***

Dusun yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Jalan Magelang tersebut telah resmi menyandang status sebagai Desa Wisata sejak 2002. Didukung oleh Pemerintah Kabupaten Sleman, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dan Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM, Ketingan terus berupaya mengembangkan diri dan menguatkan status barunya. Tentu saja, status itu membawa konsekwensi sekaligus dampak positif terhadap kemajuan ekonomi dusun, kendati warganya dituntut untuk melakukan lebih banyak lagi upaya guna mengembangkan potensi, dan kemudian menjualnya menjadi paket eko-wisata yang dalam beberapa tahun terakhir semakin mendapatkan perhatian publik, ditengah hiruk-pikuk issue global menyangkut perbaikan dan kelestarian lingkungan.

Ada beberapa paket eko-wisata yang dikembangkan dan ditawarkan Dusun Ketingan. Menu utamanya adalah kesempatan bersantai menghirup udara pedesaan yang segar sambil melakukan pengamatan tingkah-laku kawanan burung kuntul yang pada kesempatan tertentu jumlahnya bisa ribuan. Terutama ketika musim hujan tiba, kawanan burung mulai berdatangan dalam jumlah besar, mulai membangun sarang, dan membesarkan anak-anaknya. Paket utama ini dikombinasikan dengan kesempatan bagi para wisatawan yang ingin merasakan sensasi terlibat langsung pada kegiatan pertanian yang biasanya juga aktif dan padat di musim penghujan. Pengunjung bisa ikutan membajak sawah bersama petani, bermain lumpur di lahan pertanian sambil mengamati burun-burung kuntul yang ikut turun ke lahan pertanian untuk berburu makanan.

Daya tarik lain yang juga bisa dinikmati wisatawan adalah pertunjukan seni tradisional. Pengunjung bisa mengikuti kegiatan seni seperti jathilan, pek bung, gejog lesung, dan wayang kulit. Khusus untuk pertunjukan wayang kulit, biasanya dilakukan setahun sekali, bersamaan dengan perayaan ritual ‘merti bumi’, yang untuk Dusun Ketingan biasanya jatuh pada bulan Juni.

Untuk kepentingan mengankat potensi yang bisa disuguhkan kepada masyarakat luar, terutama para wisatawan, Dusun Ketingan secara rutin menyelenggarakan ritual Merti Bumi, dengan prosessi kegiatan yang lebih spektakuler disbanding jaman sebelumnya. Masyarakat digerakkan, mereka mengenakan pakaian khusus dan melakukan kirap mengelilingi dusun. Sedikit berkiblat kepada prosesi Grebekan Maulid ala Kraton Jogja, Merti Bumi di Ketingan juga mengarak berbagai hasil bumi yang diusung dalam bentuk tumpeng besar atau disebut ‘gunungan’. Nah, di malam harinya ditutup dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Tujuannya, “Itu sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat atas berkah dari Alloh, Mas,” kata Supar, kepala dusun Ketingan.

Paket pelengkap lain, yang juga sendang diinisiasi warga adalah, kesempatan bagi wisatawan belajar membuat, meracik, dan mencicipi makanan dan minumas khas daerah setempat. Termasuk, belajar meramu jamu tradisional dan membuat keripik atau emping mlinjo, yang kebetulan banyak dihasilkan dari lading mereka.

Guna mendukung semua upaya diatas, Pengelola Desa Wisata Ketingan juga menyiapkan beberapa orang pemandu local yang dibekali bahasa Enggris, juga membangun menara pandang bagi mereka yang ingin melakukan pengamatan dari ketinggian. Selain itu, warga juga diajak untuk merelakan dan menyiapkan sebagian bilik rumah mereka untuk difungsikan sebagai tempat penginapan (homestays) bagi wisatawan yang ingin bermalam, yang ingin menikmati suasana malam hari ala pedesaan, yang penuh keramahan, kehangatan pergaulan ala pedusunan, sambil menikmati suara jangkrik dan nyanyian katak di kesunyian malam, serta kelap-kelip kunang-kunang yang berterbangan di kegelapan rumpun-rumpun bambu, yang tentu saja tidak akan ditemukan di perkotaan.

Sejauh ini, tersedia sekitar 40 rumah dengan kapasitas sekitar 225 orang, dengan tarip Rp 75.000,00 per orang per hari. Makanan dan minuman yang khas Dusun Ketingan juga menjadi fasilitas yang akan diberikan kepada setiap tamu yang meginap. Menurut ketua pengelolanya, Haryono, “Kalau pengunjung memerlukan kendaraan antar jemput, kami juga bisa menyediakan.” Dengan demikian, lanjut beliau, diharapkan para pengunjung bisa mendapatkan kepuasan baik dari aspek obyek wisata yang ditawarkan maupun pelayanan akomodasi yang diberikan oleh pihak pengelola.

Tercatat, tak kurang dari 1.000 wisatawan bertandang ke Dusun Ketingan setiap tahunnya. Meskipun rata-rata dari mereka adalah para pelajar, mulai dari Taman Kanak-kanak dan Play Grup, hingga mahasiswa yang ingin berwisata sambil belajar tentang fauna langka, turis dan ahli manca negara pun juga banyak yang berkunjung melihat lebih dekat tentang keistimewaan Dusun Ketingan. “Banyak kok, ada dari Jerman, Australia, Jepang, dan negera lain,” tukas Haryono lebih lanjut.

Wisatawan yang berkunjung ke Dusun Ketingan biasanya memberikan berita dulu jauh sebelum hari kedatangannya. Mereka cenderung rombongan dengan dua atau tiga bus wisata. Ini menegaskan bahwa kedatangan mereka tak lepas dari peranan biro jasa perjalanan wisata, kerjasama dengan instansi terkait, dan promosi yang semakin gencar mereka lakukan. Wajar adanya bila diantara wisatawan domestic, tercatat berasal dari kota yang jauh seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Kebumen, Purbalingga, dll.

***

Status sebagai sebuah desa wisata yang disandang Dusun Ketingan telah membawa berkah yang turut memberikan insentif ekonomi bagi seluruh warga. Hampir semua ruas jalan dusun sudah dikeraskan baik dengan cor-blok beton maupun aspal (hot-mixed). Rumah warga juga banyak yang bagus, bersih, berlantai mengkilat, dan kelihatan mapan secara ekonomi. Warga pun juga terdorong untuk melakukan inovasi yang memungkinkan dusunya bergerak lebih cepat dibandingkan fase sebelum penetapan sebagai tujuan eko-wisata. Apalagi, arus utama tren perubahan bidang pariwisata cenderung bergeser ke sisi yang lebih ‘green’, lebih mengedepankan aspek kelestarian lingkungan. Tentu saja, ini bukan kabar ‘burung’ yang tak perlu dihiraukan, tapi kecenderungan gerak arus global yang semakin berpihak pada alam, dan memberikan peluang besar bagi kemajuan eko-wisata di Dusun Ketingan.