Kini musim hujan telah tiba. Tentu saja, banyak pihak yang merasa lega, karena kebutuhannya akan air semakin terpenuhi. Terutama para petani dan peternak yang memanfaatkan air sebagai penopang utama usahanya. Namun demikian, ada sebagian kelompok masyarakat yang justeru semakin was-was. Terutama mereka yang ‘langganan’ disamperi banjir ketika musim basah tersebut datang.
Kenyataanya, tidak seperti yang kita asumsikan. Perilaku masyarakat kita tidak banyak berubah. Celakanya, pemerintah juga tidak (belum) melakukan tindakan mitigasi dan pencegahan yang berarti. Tetap saja banjir datang dan datang lagi seiring semakin tingginya curah hujan. Bahkan kecenderungannya semakin besar dan buruk dampaknya. Apa yang salah dengan masyarakat kita, sehingga mereka tidak cepat belajar dan mampu mengatasi persoalan yang sudah jelas kapan datang dan apa sebabnya?
Seperti para pembaca juga sering lihat, diman-mana sering terlihat sampah berserakan dan menumpuh, bahkan terkadang menyumbat drainase umum. Baik sampah organik maupun unorganik. Terutama di tempat-tempat yang agak jauh dari pemukiman, seperti di tepi-tepi jalan dan selokan di persawahan. Namun demikian situasi yang hampir serupa juga mudah ditemukan di tempat-tempat yang notabene dekat pemukiman akan tetapi tidak atau kurang terlihat oleh pandangan mata umum, seperti halaman belakang rumah, sungai dan selokan di pemukiman. Kok begitu? Sepertinya masyarakat kita memang belum sepernuhnya civilized, dan mungkin memang belum punya kesadaran yang memadahi sehingga bisa berubah perilakunya, terutama dalam memperlakukan sampah-sampahnya dengan benar.
Berikut penulis akan berbagi beberapa pengalaman yang ‘janggal’ dan tak terlupakan. Kisah-kisah tersebut mungkin akan membuat pembaca geleng-geleng kepala setelah membacanya.
Suatu kali penulis berhenti, ketika lampu merah menyala di perempatan Selokan Mataran, Yogyakarta. Di depan sebelah kanan penulis berhenti juga sebuah sedan mewan warna hitam mengkilat, seperti keluaran terbaru, yang dikendarai sekelompok remaja belasan tahun. Mendadak kaca jendela kiri depan sendan tersebut perlahan turun dan terbuka setengah bagian, seketika dentuman musik hip-hop menyeruak keluar menerpa semua telinga pengguna jalan yang sedang berhenti menunggu munculnya nyala lampu hijau di perempatan dekat kampun UGM tersebut. Kemudia sebuah adegan menjengkelkan terjadi. Dari dalam kabin depan sedan tersebut, menjulur pendek sebuah tangan yang mengepal kemudian ‘byak’ terbuka cepat jari-jemarinya, dan terlemparlah segengam sampah dari dalam mobil tersebut. Sungguh menjengkelkan! Saya hanya bisa menggelengkan kepala, sementara sebagian pengguna jalan yang lain terlihat hanya menampakkan expresi wajah masam, seperti sedang kecewa.
Pernah juga suatu sore ketika sedang jogging di sebuah jalan di tengah persawahan, secara kebetulan penulis memergoki seorang ibu-ibu mendadak menghentikan motornya, turun, dan melemparkan sesuatu yang besar ke selokan, yang kering kerotang. Begitu saja, kemudian pergi ngacir dan hilang ditelan tikungan sebuah perumahan baru dekat persawahan tersebut. Karena penasaran, penulis mencoba melongok ke selokan dangkal tampa air tersebut. Dan betapa terkejutnya ketika penulis melihat sebuah buntalan plastik besar transparan berisi bekas pembalut wanita. Banyak sekali, mungkin bisa lusinan. Betapa sangat memprihatinkan! Siapapun yang melihat adegan tersebut pasti tak kuasa menahan amarah, dan langsung mengeluarkan kata-kata hujatan. Kok bisa hal seperti itu dilakukan oleh seorang ibu, yang tinggal di perumahan, naik sepeda motor, dan kelihatan seperti orang sekolahan.
Bulan Agustus 2009, ketika penulis baru saja pindah kontrakan ke tempat yang baru, di sebuah pedukuhan di Kecamatan Ngaglik, Sleman. Penulis menyempatkan diri melihat-lihat lingkungan baru tersebut. Mengamati kondisi rumah-rumah penduduk yang kelihatan makmur dan terbilang lebih mapan dibanding kampung-kampung sekitarnya. Ternyata mereka tergolong bagus dalam menjaga kebersihan lingkungan sekitar rumahnya. Jalan-jalan dan pekarangan rumah terlihat bersih dari sampah. Mereka terlihat begitu kompak ketika melakukan kerjabakti secara berkala. Sehingga lingkungan mereka kelihatan lebih menarik dan asri. Akan tetapi, masih ada hal-hal yang kurang tepat mereka lakukan. Mereka masih melakukan pembakaran sampah, yakni sampah kering seperti plastik, kertas, ranting dan dedaunan yang ada di sekitar rumah mereka. Mereka masih membiarkan warga lainya yang sudah terbiasa membuang sampah di sungai, shingga sunggai yang kebetulan ada di bagian belakang kampung mereka terlihat kotor penuh dengan sampah, baik sampah organik maupun unorganik. Ada pakaian bekas, pecahan kaca, potongan kayu, kaleng-kaleng bekas kemasan makanan maupun plastik-palstik beraneka macam.
Kemudian, mengapa phenomena tersebut bisa terjadi? Apa yang bisa kita lakukan untuk menjawab persoalan tersebut? Mari kita pikirkan bersama solusinya para pembaca budiman...!