Selasa, 08 Juni 2010

Potensi Sultan’s Birds untuk Dusun Ketingan

Keunikan atau sering dibahasakan dengan kata yang lebih indah, eksotisme, merupakan potensi alamiah Dusun Ketingan, yang telah diamini banyak pihak. Adalah sebuah dusun wisata alternatif yang menawarkan obyek konservasi fauna jenis burung kuntul atau blekok, serta paket wisata lain yang ada kaitannya denga pesona kehidupan pedesaan yang masih asri dan alami.

Menjejakkan langkah ke wilayah tersebut kita akan langsung disambut dengan jalan desa beraspal, meskipun sudah mulai berlubang di sana-sini, dan gapura kembar (pertama) warna krem bertepi coklat yang menjulang kokoh. Gapura kiri, dihinggapi sebuah patung burung kuntul besar warna putih, sedangkan gapura kanan ditenggeri tiga patung burung serupa, seekor kuntul besar dan dua blekok kecil yang semuanya berwarna putih. Keempat putung tersebut seperti dirancang khusus berpose kas layaknya burung sawah liar kebanyakan, yang menggambarkan keceriaan, kedamaian, dan kebebasan kehidupan liar, yang dijamin kelestariannya oleh masyarakat setempat.

Tepat di depan sebelah kanan gapura megah tersebut, terpampang dua plang kokoh. Plang yang lebih tinggi, berpenyangga pipa besar tunggal, dan berwarna dasar hitam flat bertuliskan huruf besar warna putih, “Selamat Datang di Desa Wisata Fauna Ketingan, Desa Tirtoadi, Kecamatan Mlati.” Sedangkan, yang lebih pendek, berkaki dua, bercat dasar warna putih dengan tulisan warna hitam tegas berbunyi, “Dilarang Berburu, Sesuai: UU No. 5 Tahun 1990 dan Instruksi Gubernur Nomor: 10/INSTR/1998, BKSDA Yogyakarta, DIPA Tahun 2009.” Plang-plang tersebut tentu saja sudah bisa mewakili betapa seriusnya komitmen masyarakat setempat untuk membawa desanya tumbuh menjadi desa wisata alternatif yang menjanjikan keunikan khas pedesaan yang ramah terhadap ekosistem.

Gapura kedua yang jauh lebih megah adalah penanda selanjutnya yang menjadi gerbang utama masuk ke Dusun Ketingan. Gapura dengan dominasi warna krem dan list coklat tua, yang bagian atasnya saling terhubung menyatu dengan naungan atap genting yang kokoh, selain menyuguhkan tulisan “Selamat Datang” juga menampilkan slogan lain berbunyi, “Estining Gapuro Trus Manunggal, Dusun X Ketingan”, yang ditengahnya terdapat pahatan tanda tangan Sri Sultan HB X, raja ke-10 Kasultanan Yogyakarta. Sebuah papan bergambar peta daerah wisata Dusun Ketingan, yang menampilkan layout obyek-obyek wisata berupa rumah joglo khas arsitektur Jawa, gardu pandang, persawahan, peternakan, kolam pakan burung kuntul, dst. berdiri tegar di sisi kanan depan gapura. Di seberang kiri, berdiri juga plang peringatan larangan berburu yang serupa dengan yang ada di depan gerbang pertama.

Melewati kedua gerbang penanda tersebut kita langsung disambut dengan pohon-pohon tinggi merindang, hijau menyegarkan mata. Diantaranya, rumpun-rumpun pohon bambu, kelapa hijau, johar, adem-adem ati, mlinjo, nangka, flamboyan, juga pohon mangga. Nah, menjadi daya tarik utama adalah, di pucuk-pucuk sebagian besar pohon-pohon tersebut bertengger, dan sesekali meloncat-loncat, kemudian terbang berpindah ke pohon lain, burung-burung besar warna putih bersih yang tampak sehat. Di ruas-ruas percabangan ranting pohon, banyak dihiyasi onggokan-onggokan ranting kecil dan daun kering yang menjadi sarang peraduan keluarga ribuah burung musiman kuntul. Suara teriakan piyikan (anak-anak burung) yang meminta suapan makanan dari induknya berpadu dengan derat-derit suara daun dan ranting pohon, yang ditiup desir angin turut melengkapi keunikan dan keindahan Dusun Ketingan.

***

Menurut penuturan beberapa warga setempat, koloni burung kuntul dan blekok mulai datang dan singgah di Dusun Ketingan sejak tahun 1997. Awalnya hanya beberapa ekor saja. Singgah di rumpun-rumpun bambu di pinggiran dusun. Namun, seiring berjalannya waktu koloni mereka semakin banyak, ratusan ekor, dan kemudian menjadi ribuan. Entah ada kaitannya atau kebetulan belaka, menurut Pak Haryono, yang hingga saat ini menjadi Ketua Pengelola Desa Wisata Ketingan, fauna migran tersebut mulai datang ke dusunnya setelah kunjungan Sri Sultan HB X berserta istrinya, dalam rangka meresmikan jalan dan gapura dusun, hasil swadaya masyarakat. Konon, tidak lama setelah kunjungan Raja Kasultanan Yogyakarta tersebut koloni burung kuntul dan blekok mulai rutin datang dan berkembangbiak. Awalnya hanya puluhan ekor saja, tetapi lama kelamaan semakin banyak. Itulah kenapa, muncul anggapan di benak sebagian warga bahwa kedatangan koloni unggas tersebut tak lepas dari ‘tuah’ yang dibawa serta oleh kunjungan Raja Jawa. Hingga muncul sebutan ‘burung sultan’ atau ‘Sultan’s birds’.

Pada awalnya warga Ketingan sempat kawatir bahwa kehadiran ribuan satwa dilindungi terebut akan membawa dampak buruk bagi kehidupan mereka. Mengingat, ribuan satwa tersebut berdatangan dalam jumlah yang luar biasa besar, bertengger, dan bersarang tidak hanya di rumpun-rumpun bambu di tepiah sawah, akan tetapi juga mendiami vegetasi produktif lain yang selam ini turut membantu meningkatkan pendapatan masyarakat diluar pertanian sawah. Yakni, pohon kelapa hijau dan tanaman melinjo. Belum lagi dengan kotoran dan bulu-bulu mereka, yang mengotori dan menimbulkan bercak-bercak putih di dedaunan pohon dan tanah dibawahnya. Selain berbau anyir, masyarakat sempat mengkawatirkan munculnya wabah penyakit yang bisa ditularkan oleh fauna jenis unggas tersebut. Namun, keresahan warga akhirnya mereda, setelah hasil penelitian yang diorganizir oleh Tim dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada mampu membuktikan bahwa kotoran burung kuntul di Ketingan tidak berbahaya. Kekawatiran masyarakat terhadap kemungkinan penularan virus flu burung dibantah oleh tim ahli tersebut, “Menurut beliau-beliau, burung kuntul yang singgah di sini, adalah jenis pemakan binatang kecil dan serangga. Sedangkan unggas yang potensial menularkan virus adalah mereka yang pemakan biji-bijian,” terang Haryono, Ketua Pengelola Desa Wisata Ketingan.

Mengukuhkan kabar gembira yang dipaparkan tim ahli dari UGM, hasil penelitian pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) juga mengungkapkan fakta yang tidak jauh beda, bahwa koloni unggas musiman tersebut dipandang aman, sejauh ini tidak membawa wabah penyakit tertentu. “Aman kok, selama ini belum pernah ada warga yang sakit karena burung-burung kuntul itu,” ungkap Triyanto (28), seorang anggota karang taruna setempat. Fakta lainya adalah, kotorannya, yang berwana putih dan berbau agak amis, sangat baik untuk tanah, karena mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman.

Fakta-fakta positif yang dilandasi kajian ilmiah tersebut, semakin mendorong dan menguatkan komitmen warga Dusun Ketingan untuk mengembangkan potensi alamnya. Harapanya, mereka akan mendapatkan keuntungan ekonomis dan ekologis yang pada akhirnya bisa mendongkrak kesejahteraan mereka. Selain itu, mereka tidak ragu-ragu lagi untuk semakin hidup dekat, berdampingan, dan turut menjaga keberadaannya. Mereka tidak enggan lagi untuk memberi makan kuntul, juga menyelamatkan piyikan yang belum bisa terbang yang kebetulan terjatuh ke tanah. Mereka berusaha mengembalikannya ke sarang asalnya. Para pemburu burung pun dijamin tidak akan bisa melampiaskan hobby buruknya di kawasan konservasi Ketingan. Warga telah memajang papan-papan peringatan larangan berburu di beberapa tempat strategis, dan tak segan-segan untuk mengusir mereka yang nekat melampiaskan syahwat destruktifnya mengusik kedamaian ekosistem di wilayahnya. Kesungguhan, interaksi yang harmonis, dan kepedulian mereka terhadap kelestarian lingkungan alam, terutama fauna kuntul dan blekok, menjadikan dusunnya menjadi salah satu daerah konservasi di Yogyakarta. Capaian itu tentunya sangat membanggakan banyak pihak. Belum lagi penghargaan yang telah diberikan kepada salah satu panutan mereka, Haryono, yang pada Agustus 2008, diundang ke Istana Negara untuk dianugerahi sebuah kehormatan, sebagai Kader Konservasi Alam, oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono.

***

Dusun yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Jalan Magelang tersebut telah resmi menyandang status sebagai Desa Wisata sejak 2002. Didukung oleh Pemerintah Kabupaten Sleman, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), dan Pusat Studi Pariwisata (Puspar) UGM, Ketingan terus berupaya mengembangkan diri dan menguatkan status barunya. Tentu saja, status itu membawa konsekwensi sekaligus dampak positif terhadap kemajuan ekonomi dusun, kendati warganya dituntut untuk melakukan lebih banyak lagi upaya guna mengembangkan potensi, dan kemudian menjualnya menjadi paket eko-wisata yang dalam beberapa tahun terakhir semakin mendapatkan perhatian publik, ditengah hiruk-pikuk issue global menyangkut perbaikan dan kelestarian lingkungan.

Ada beberapa paket eko-wisata yang dikembangkan dan ditawarkan Dusun Ketingan. Menu utamanya adalah kesempatan bersantai menghirup udara pedesaan yang segar sambil melakukan pengamatan tingkah-laku kawanan burung kuntul yang pada kesempatan tertentu jumlahnya bisa ribuan. Terutama ketika musim hujan tiba, kawanan burung mulai berdatangan dalam jumlah besar, mulai membangun sarang, dan membesarkan anak-anaknya. Paket utama ini dikombinasikan dengan kesempatan bagi para wisatawan yang ingin merasakan sensasi terlibat langsung pada kegiatan pertanian yang biasanya juga aktif dan padat di musim penghujan. Pengunjung bisa ikutan membajak sawah bersama petani, bermain lumpur di lahan pertanian sambil mengamati burun-burung kuntul yang ikut turun ke lahan pertanian untuk berburu makanan.

Daya tarik lain yang juga bisa dinikmati wisatawan adalah pertunjukan seni tradisional. Pengunjung bisa mengikuti kegiatan seni seperti jathilan, pek bung, gejog lesung, dan wayang kulit. Khusus untuk pertunjukan wayang kulit, biasanya dilakukan setahun sekali, bersamaan dengan perayaan ritual ‘merti bumi’, yang untuk Dusun Ketingan biasanya jatuh pada bulan Juni.

Untuk kepentingan mengankat potensi yang bisa disuguhkan kepada masyarakat luar, terutama para wisatawan, Dusun Ketingan secara rutin menyelenggarakan ritual Merti Bumi, dengan prosessi kegiatan yang lebih spektakuler disbanding jaman sebelumnya. Masyarakat digerakkan, mereka mengenakan pakaian khusus dan melakukan kirap mengelilingi dusun. Sedikit berkiblat kepada prosesi Grebekan Maulid ala Kraton Jogja, Merti Bumi di Ketingan juga mengarak berbagai hasil bumi yang diusung dalam bentuk tumpeng besar atau disebut ‘gunungan’. Nah, di malam harinya ditutup dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Tujuannya, “Itu sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat atas berkah dari Alloh, Mas,” kata Supar, kepala dusun Ketingan.

Paket pelengkap lain, yang juga sendang diinisiasi warga adalah, kesempatan bagi wisatawan belajar membuat, meracik, dan mencicipi makanan dan minumas khas daerah setempat. Termasuk, belajar meramu jamu tradisional dan membuat keripik atau emping mlinjo, yang kebetulan banyak dihasilkan dari lading mereka.

Guna mendukung semua upaya diatas, Pengelola Desa Wisata Ketingan juga menyiapkan beberapa orang pemandu local yang dibekali bahasa Enggris, juga membangun menara pandang bagi mereka yang ingin melakukan pengamatan dari ketinggian. Selain itu, warga juga diajak untuk merelakan dan menyiapkan sebagian bilik rumah mereka untuk difungsikan sebagai tempat penginapan (homestays) bagi wisatawan yang ingin bermalam, yang ingin menikmati suasana malam hari ala pedesaan, yang penuh keramahan, kehangatan pergaulan ala pedusunan, sambil menikmati suara jangkrik dan nyanyian katak di kesunyian malam, serta kelap-kelip kunang-kunang yang berterbangan di kegelapan rumpun-rumpun bambu, yang tentu saja tidak akan ditemukan di perkotaan.

Sejauh ini, tersedia sekitar 40 rumah dengan kapasitas sekitar 225 orang, dengan tarip Rp 75.000,00 per orang per hari. Makanan dan minuman yang khas Dusun Ketingan juga menjadi fasilitas yang akan diberikan kepada setiap tamu yang meginap. Menurut ketua pengelolanya, Haryono, “Kalau pengunjung memerlukan kendaraan antar jemput, kami juga bisa menyediakan.” Dengan demikian, lanjut beliau, diharapkan para pengunjung bisa mendapatkan kepuasan baik dari aspek obyek wisata yang ditawarkan maupun pelayanan akomodasi yang diberikan oleh pihak pengelola.

Tercatat, tak kurang dari 1.000 wisatawan bertandang ke Dusun Ketingan setiap tahunnya. Meskipun rata-rata dari mereka adalah para pelajar, mulai dari Taman Kanak-kanak dan Play Grup, hingga mahasiswa yang ingin berwisata sambil belajar tentang fauna langka, turis dan ahli manca negara pun juga banyak yang berkunjung melihat lebih dekat tentang keistimewaan Dusun Ketingan. “Banyak kok, ada dari Jerman, Australia, Jepang, dan negera lain,” tukas Haryono lebih lanjut.

Wisatawan yang berkunjung ke Dusun Ketingan biasanya memberikan berita dulu jauh sebelum hari kedatangannya. Mereka cenderung rombongan dengan dua atau tiga bus wisata. Ini menegaskan bahwa kedatangan mereka tak lepas dari peranan biro jasa perjalanan wisata, kerjasama dengan instansi terkait, dan promosi yang semakin gencar mereka lakukan. Wajar adanya bila diantara wisatawan domestic, tercatat berasal dari kota yang jauh seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Kebumen, Purbalingga, dll.

***

Status sebagai sebuah desa wisata yang disandang Dusun Ketingan telah membawa berkah yang turut memberikan insentif ekonomi bagi seluruh warga. Hampir semua ruas jalan dusun sudah dikeraskan baik dengan cor-blok beton maupun aspal (hot-mixed). Rumah warga juga banyak yang bagus, bersih, berlantai mengkilat, dan kelihatan mapan secara ekonomi. Warga pun juga terdorong untuk melakukan inovasi yang memungkinkan dusunya bergerak lebih cepat dibandingkan fase sebelum penetapan sebagai tujuan eko-wisata. Apalagi, arus utama tren perubahan bidang pariwisata cenderung bergeser ke sisi yang lebih ‘green’, lebih mengedepankan aspek kelestarian lingkungan. Tentu saja, ini bukan kabar ‘burung’ yang tak perlu dihiraukan, tapi kecenderungan gerak arus global yang semakin berpihak pada alam, dan memberikan peluang besar bagi kemajuan eko-wisata di Dusun Ketingan.

4 komentar:

  1. Di daerah Bintaran Jogjakarta dulu juga ada burung Kuntul yang tidur dan bersarang di beberapa pohon tinggi di depan rumah seorang warga. tapi entah sekarang, masih ada atau tidak. Begitupun di belakang PG Kanigoro Madiun ada puluhan burung kuntul yang tidur dan bersarang di beberapa pohon trembesi di sana. Sayangnya, beberapa minggu lalu ada sejumlah pemburu yang bergerilya pada malam hari yang membawa senapan dan lampu senter. Mereka tidak sadar bahwa perbuatannya itu merusak lingkungan. Padahal kalau ingin sekedar makan daging unggas, dengan uang 5 ribu saja mereka sudah dapat merasakan lezatnya ayam krispy, tanpa harus truthukan malam hari, beli senapan, beli baterei dan sebagainya.

    BalasHapus
  2. Kalau di Bintaran Jogja, aku kurang tahu Bung, tapi melihat pekembangan daerah-daerah di Jogja, terutama yang di perkotaan, sepertinya vegetasi yang sampean maksud sudah tidak ada lagi, apalagi faunanya...

    Sekarang yang semakin berkembang adalah burung-burung liar, juga termasuk kuntul, yang ada di hutan buatan milik fakultas kehutanan UGM, letaknya tepat di sebelah utara Gedung Pusat, mereka juga relatif aman dari jangkauan para pemburu liar...dilindungi dengan perhatian extra!

    Saat ini, kesadaran kita akan kelestarian lingkungan memang harus selalu ditularkan, dikembangkan kepada masyarakat luas, demi keseimbangan ekosistem dan kearifan ekologis! Kalau tidak kita, siapa lagi Bung!

    BalasHapus
  3. postingannya nambah wawasan nih

    maaf kalau boleh tau ini mas ijoroyoroyo yang dulu suka nulis dalam bentuk puisi islami yah...?

    BalasHapus
  4. Kwan Bintangair, maaf saya bukan blogger yang Anda maksudkan itu. Saya tidak bisa membuat puisi, apalagi yang bertema islami, jadi sudah pasti bukan saya.

    BalasHapus